Misteri Nama Tuhan yang Ke-100

1,485 views

Selalu seperti ini: nyaris tak bisa berhenti ketika sedang membaca buku-buku karya Amin Maalouf meskipun halaman terakhir sudah terlewati. Amin Maalouf seperti masih terus menyuguhkan teks cerita yang entah tersembunyi di mana…

Begitu yang saya rasakan ketika saya membaca Leo The African, Cadas Tanios, Samarkand, dan Misteri Rubaiyat Omar Khayyam. Dan itu pula yang terjadi ketika kini saya sedang membaca Mencari Nama Tuhan yang Keseratus. Karya Amin Maalouf ini memang benar-benar buku cerita yang kaya cerita.

Advertisements

Buku dengan judul asli Balthasar’s Odyssey terbitan Vintage, London, pada 2003 ini sebelumnya juga pernah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit yang berbeda. Sebelumnya, pada 2006, Serambi Ilmu pernah menerbitkan buku ini dengan judul sama dengan judul aslinya, Balthasar’s Odyssey, namun diberi anak judul Nama Tuhan yang Keseratus. Kali ini, Mei 2021, Diva Press menerbitkannya dengan judul baru, Mencari Nama Tuhan yang Keseratus.

Tapi, pusat kisah dalam Balthasar’s Odyssey, yang berarti pengembaraan Balthasar, ini memang cerita pengembaraan sang tokoh yang tak lain adalah pedagang buku untuk menemukan sebuah buku misterius berjudul Nama Tuhan yang Keseratus.

Buku ini mengambil setting pertengahan abad ke-17 pada daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Turki atau Ottoman. Jika kita membaca ulang studi riset yang dilakukan Ahmet T Kuru (dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan), setting yang diambil Amin Maalouf adalah abad-abad di mana ketika dunia Muslim “berjalan mundur” dan dunia Barat (Eropa) “berjalan maju”, dan keduanya bertemu di titik yang sama, “titik keseimbangan”. Kedua peradaban ini mulai memiliki kekuatan yang seimbang —setelah abad-abad itu peradaban dunia Muslim semakin mundur dan dunia Barat semakin maju.

Dengan latar itu, menjadi wajar jika kisah dalam Mencari Nama Tuhan yang Keseratus ini melibatkan begitu banyak tokoh dari berbagai agama, bahasa, warna kulit, dan negara-bangsa yang semuanya berkepentingan dengan misteri nama Tuhan yang ke-100 ini.

Tuhan, dalam tradisi Islam, dikenal memiliki 99 nama, yang disebut asmaul husna. Nama-nama indah Tuhan, sesuai dengan sifat-Nya, didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Ibu Majah, yang artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Siapa yang menghafalnya masuk surga. Bahwasanya Allah itu Maha Ganjil dan menyenangi kepada yang ganjil.”

Benarkah Tuhan hanya memiliki 99 nama? Tidak 100 sebagai lambang kesempurnaan?

Dari pertanyaan nyeleneh seperti itulah cerita dalam novel Amin Maalouf setebal 484 ini dibangun. Syahdan, masyarakat dunia dihantui keyakinan sekaligus takhayul bahwa akhir 1666 adalah waktu datangnya hari kiamat, yang juga disebut sebagai Tahun Dajjal. Yang bisa membuat keajaiban, dan menyelamatkan dunia dari kiamat, adalah siapa yang mampu mengurai misteri nama Tuhan yang ke-100 itu.

Masalahnya, tidak ada satu orang pun, satu tokoh agama mana pun, yang tahu nama Tuhan yang ke-100 itu. Tradisi Islam hanya punya 99 nama. Tradisi Injil punya 9 sebutan. Tradisi Yahudi malah melarang penyebutan nama-nama Tuhan. Tapi, banyak orang percaya sesungguhnya Tuhan punya nama ke-100. Satu nama yang lebih tinggi, yang mengatasi nama-nama Tuhan lainnya.

Bahkan, orang-orang yang berbeda-beda agama itu mencoba menafsirkannya dari Al-Quran Surat Al A’la ayat 1, Sabbikhisma rabbika al a’la, yang berarti “Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi.”

Orang-orang punya penafsiran “mendua” terhadap kata a’la. Ada yang menafsirkannya sebagai yang Maha Tinggi. Ada pula yang menafsirkannya sebagai yang Paling Tinggi. Dari penafsiran yang kedua inilah lalu muncul keyakinan adanya nama Tuhan yang ke-100, yang kedudukannya paling tinggi, paling suci, dan bisa merangkum seluruh (99) nama-nama lainnya.

Agar selamat dari ancaman kiamat, dari ancaman datangnya Dajjal, maka orang-orang berlomba-lomba untuk menemukan nama Tuhan yang ke-100 itu. Rumor yang beredar, memang ada sebuah buku karangan seorang ulama, Abu Maher al-Mazandarani, yang disebut-sebut memuat nama Tuhan ke-100 itu. Buku itu memang juga berjudul Nama Tuhan yang Keseratus. Namun, keberadaan buku itu semesterius isinya.

***

Kisah dalam novel ini dimulai dari Gibelet, Lebonan. Di sana ada seorang pedagang buku dan barang antik ternama, Balthasar Embriaco. Leluhurnya berasal dari keluar kstaria di Genoa, Italia. Namun ia lahir dan dibesarkan di Lebonan, dan meneruskan usaha perdagangan buku dan barang antik warisan keluarganya.

Suatu hari ia kedatangan tamu, Si Idris, lelaku tua yang melarat, yang hidup sebatang kara di gubuknya yang reyot tak jauh dari toko buku Balthasar. Lelaki tua itu menitipkan sebuah buku lusuh kepada Balthasar untuk dijualkan. Dengan ogah-ogahan Balthasar menyanggupinya. Beberapa hari kemudian, buku itu terjual dengan harga yang lebih tinggi dari perkiraannya. Balthasar kemudian mendatangi gubuk Idris untuk memberikan uang yang menjadi haknya.

Merasa berutang budi, Idris kemudian memberikan hadiah kepada Balthasar berupa buku tua. “Buku ini untuk kau miliki, jangan dijual,” demikia pesan Idris.

Balthasar gemetar memegang buku itu setelah mengetahui judulnya: Nama Tuhan yang Keseratus dengan dibubuhi nama penulis Abu Maher al-Mazandarani. Benarnah buku ini asli? Atau Salinan? Atau justru palsu?

Sesampai di rumah, di tokonya, ia mencoba membaca-baca buku itu. Namun, belum sampai membacanya, ia kedatangan seorang tamu. Kali ini yang datang adalah utusan Raja Prancis yang sedang dalam perjalanan menuju Konstantinopel, ibu kota Kesultanan Turki. Utusan Raja Prancis ini tak lain adalah pelanggan setianya. Buru-buru Balthasar menyembunyikan buku hadiah dari Idris itu. Namun naas, Utusan Raja Prancis itu menemukannya, dan kemudian membelinya dengan harga berapa pun.

Balthasar tak punya pilihan. Menolak taruhannya nyawa. Menerima berarti ia “mengkhiatani” Idris. Utusan Raja Prancis itu akhirnya pergi dengan bukunya dan meninggalkan banyak uang untuk Balthasar. Balthasar akhirnya kembali mendatangi gubuk lelaki tua itu dengan maksud memberikan seluruh uang dari utusan Raja Prancis kepada Idris. Tapi di gubuk itu Balthasar hanya menemukan duka: Idris sudah tak bernyawa.

Atas saran seorang imam masjid, Balthasar yang Yahudi ini kemudian memulai pengembaraan. “Jika Idris memberikannya kepadamu, itu berarti memang untuk kau miliki, bukan untuk kau jual. Kau harus menemukannya kembali,” demikian pesan Imam masjid itu.

Balthasar akhirnya mengembara untuk menemukan buku itu kembali. Pertama-tama ke Konstantinopel, Smyrna, London, Prancis, Genoa —nyaris separo dunia. Ia disertai dua kemenakannya dan Marta, perempuan cantik yang lari dari keluarga suaminya.

Dalam pengembaraan yang panjang, hampir dua tahun, itulah Balthasar memergoki potret relasi, pertikaian, dan perselingkuhan antara agama-agama dan politik berkelindan hingga mendorong manusia berbuat apa saja terhadap sesamanya. Termasuk, bagaimana buku yang berisi separo keyakinan dan setengahnya takhayul itu diperebutkan.

Buku itu justru selalu mendatangkan malapetaka, dan akhirnya kiamat yang ditunggu tak datang juga, malah Ratu Adil atau Sang Juru Penyelamat yang dipercaya akan memberikan berkat tak lebih dari seorang penipu.

Buku itu selalu berpindah-pindah tempat, hingga Balthasar menemukannya di London. Seperti peristiwa di tempat-tempat lain ketika buku itu disimpan, saat Balthasar berhasil menemukan buku itu London dirundung kekacauan. Kebakaran hebat terjadi di seluruh kota. Semua orang asing dicurigai sebagai biangnya. Balthasar harus melarikan diri.

Pelarian Balthasar berakhir di Genoa, tanah kelahiran leluhurnya. Ia membawa serta buku itu; Nama Tuhan yang Keseratus. Namun, ketika kehidupannya kembali normal, Balthasar tetap tak bisa membacanya —seperti saat bersama buku itu di Gibelet atau di London. Setiap membuka-buka halamannya, matanya selalu tertutup selaput kegelapan, kepalanya serasa berputar-putar seperti gasing, tubuhnya lungkrah.

Ia merasa buku itu tertutup untuk matanya. “Mungkin aku tak benar-benar layak mendapatkannya. Barangkali aku terlalu takut menemukan apa yang tersembunyi di dalamnya. Akan tetapi, barangkali buku itu memang tak menyembunyikan apa pun,” demikian kalimat terakhir Balthasar dalam jurnal pengembaraannya.

Karena itu, secara diam-diam ia berniat meninggalkan buku itu di sebuah rak toko buku dan berharap kelak, bertahun-tahun kemudian, ada tangan lain yang bisa mengambilnya, ada sepasang mata lain yang bisa membacanya.

Balthasar pun memulai hidup baru di Genoa, 1 Januari 1667.

***

Amin Maalouf, yang kelahiran Lebanon, 25 Februari 1949, dan kemudian hidup di Prancis, ini menghabiskan banyak waktunya sebagai seorang jurnalis. Sebagai wartawan, ia banyak meliput dan mengunjungi daerah-daerah perang di Timur Tengah dan Afrika. Itulah yang kemudian menjadi latar dari banyak novel yang ditulisnya.

Namun, latar yang dihadirkan adalah abad-abad di mana peradaban Islam mulai melewati puncak kejayaannya dan peradaban Barat mulai menapak jalan menuju kejayaannya. Karena itu, persinggungan antara Islam, Yahudi, dan Kristen terasa kental dalam karya-karya Amin Maalouf seperti tergambar dalam Leo The African, Cadas Tanios, Samarkand, Misteri Rubaiyat Omar Khayyam, dan lainnya. Kita tak bisa berhenti membacanya dari hanya satu bukunya. Bahkan menuntut membaca teks-teks lain di luar dari buku karyanya.

Data Buku

Judul               : Mencari Nama Tuhan yang Keseratus
Penulis             : Amin Maalouf
Penerbit           : Diva Press
Cetakan           : 2021
Tebal`              : 484 Halaman

Multi-Page

One Reply to “Misteri Nama Tuhan yang Ke-100”

Tinggalkan Balasan