Warga Nahdliyin sedang diterpa keriuhan pasca terbitnya surat keputusan hasil Rapat Harian Syuriah yang meminta mundur Gus Yahya Cholil Staquf mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhir November 2025. Hasil keputusan rapat bertajuk “Risalah Rapat Harian Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama” itu mendadak membuat publik bertanya, apa yang sebenarnya terjadi di internal kepengurusan PBNU.
Tuntutan mundurnya Gus Yahya ini disebut sebagai buntut dari diundangnya akademisi pro-Israel, Peter Berkowitz, yang dikenal sebagai pembela kepentingan politik Israel. Mengundang penulis buku Israel and The Struggle Over The International Laws of War tersebut dinilai telah melanggar prinsip dasar organisasi.

Karena itulah, hasil rapat Syuriah memutuskan tuntutan pengambilan kewenangan sepenuhnya kepada Rais A’am dan dua Wakil Rais A’am. Karena kebijakan Ketua PBNU sebelumnya telah dipandang menyimpang dari nilai ideologi, etik, sekaligus normatif organisasi. Di sisi lain, dugaan pelanggaran hukum syara’ dalam tata kelola keuangan di lingkungan PBNU menjadi faktor penguat.
Tulisan ini akan berupaya mendeskripsikan sekurang-kurangnya; pertama, benarkah telah terjadi pelanggaran prinsip nilai Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) sebagaimana alasan permintaan mundurnya ketua PBNU terpenuhi. Kedua, konflik kepentingan politik akan dijadikan faktor terbitnya keputusan preseden pemakzulan. Lantas sejauh mana faktor konflik politik tersebut mempengaruhi keputusan Syuriah, dan bagaimana dampaknya bagi NU.
Alasan Pemakzulan
Untuk memulai bahasan dalam sub ini, pertanyaan yang perlu dijawab adalah, benarkah kepemimpinan Gus Yahya memenuhi syarat untuk disebut melanggar prinsip Aswaja dan Qonun asasi NU. Preseden pemakzulan tersebut, sekurang-kurangnya, telah melanggar aturan normatis-etis, di antaranya; penyimpangan etik atas nilai Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah, Qanun Asasi NU, mencoreng-cemarkan nama baik organisasi, serta adanya indikasi penyimpangan tata kelola keuangan.
