Jika hanya membaca judulnya, mungkin Anda akan mengira tulisan ini berangkat dari kecurigaan yang begitu berlebihan. Namun di Indonesia, kecurigaan sering kali lebih akurat daripada laporan resmi. Banyak kebijakan yang memengaruhi hidup jutaan orang justru dirumuskan dalam ruang yang jauh dari pandangan publik—ruang yang tersembunyi, dingin, dan penuh map. Maka, tidak berlebihan jika kita bertanya: berapa banyak musibah sebenarnya “diproduksi” di meja rapat sebelum akhirnya muncul dalam bentuk bencana?
Banjir di Pulau Sumatra memberikan ilustrasi yang gamblang. Ketika air bah membawa balok-balok kayu yang terpotong rapi, ia seolah datang sebagai catatan kaki yang tersembunyi dari dokumen perizinan. Tidak perlu ahli hidrologi untuk menyimpulkan bahwa hutan tidak tumbang oleh hujan. Ia tumbang oleh keputusan. Oleh persetujuan. Oleh tandatangan. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi arsip kebijakan yang tiba-tiba dibuka secara paksa oleh alam itu sendiri.

Setiap peristiwa banjir selalu melahirkan ritual yang sama: pejabat tampil di televisi dengan wajah yang dirapikan sedemikian rupa, menyampaikan pernyataan yang seragam, seolah-olah mereka membaca dari naskah yang sama: “Ini musibah alam.”
Ungkapan itu terdengar sopan dan religius, tetapi pada saat yang sama merupakan upaya menempatkan diri sebagai pihak yang paling tidak bersalah. Dalam konstruksi birokrasi kita, “alam” adalah entitas yang paling aman untuk disalahkan—ia tidak bisa menggugat, mengeluarkan bantahan, atau menuntut klarifikasi.
Padahal, dalam tradisi fikih lingkungan, manusia dipandang sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan Bumi. Namun dalam praktik pemerintahan modern, tanggung jawab itu bergeser menjadi pengelolaan konsesi. Hutan berubah menjadi angka dalam proposal, gunung menjadi peluang investasi, dan sungai menjadi jalur pembuangan. Ketika bencana muncul, agama dipanggil untuk menenangkan, sementara kebijakan jarang sekali dipanggil untuk diperiksa. Doa menjadi solusi utama karena ia tidak membutuhkan anggaran, tidak menuntut audit, dan tidak mengancam posisi siapa pun.
Masyarakat sebenarnya sudah lama memahami pola ini. Mereka yang tinggal di pinggir hutan melihat truk kayu melintas pada malam hari. Mereka yang bekerja di sekitar perusahaan perkebunan mendengar obrolan tentang izin yang “diuruskan” dengan mudah. Mereka bukan ahli, tetapi pengalaman membuat mereka peka. Sayangnya, pengetahuan semacam itu tidak cukup kuat untuk menembus tembok prosedur birokrasi—tembok yang hanya dapat dibuka dengan dokumen resmi, bukan dengan intuisi.
