Overthinking Karamah

303 kali dibaca

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai religiusitas dan ketakwaan. Hal itu jelas tersurat dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.”

Dengan demikian, orang yang istikamah dalam ibadah wajib dan sunah, akan dinaikkan derajatnya dan dipilih menjadi kekasih Allah atau waliyullah. Para kekasih Allah ini dilimpahkan rahmat dan anugerah yang tidak dimiliki oleh hamba-hamba yang lain. Salah satunya adalah karamah. Apa itu karamah?

Advertisements

Tentang definisi Karamah, Imam al-Jurjani membeberkannya dalam at-Ta’rifat:

الكرامة هي ظهور أمر خارق للعادة من قبل شخص غير مقارن لدعوى النبوة و ما يكون مقرونا بالإيمان و العمل الصالح فما لا يكون مقرونا بالإيمان و العمل الصالح يكون استدراجا

Artinya: “Karamah adalah perkara di luar adat yang terjadi pada seseorang tanpa adanya pengakuan kenabian yang dibarengi iman dan amal saleh. Jika tidak disertai dengan iman dan amal saleh, maka namanya adalah istidraj.”

Secara historis, banyak sekali data tentang eksistensi karamah dalam diri seorang waliyullah. Bahkan sebagian ulama ada yang membahas khusus dalam satu kitab tertentu. Karamah penting dan diperlukan sebagai tanda bahwa seseorang merupakan hamba pilihan dan bisa dijadikan rujukan dalam kehidupan beragama.

Dalam konteks Indonesia, jamak ditemukan kisah-kisah karamah para ulama yang fantastis dan membelalakkan mata orang awam; betapa luhurnya derajat seorang waliyullah. Namun, dalam perkembangannya, keberadaan karamah dijadikan barometer untuk mengukur kemuliaan seorang kekasih Allah. Sebagian – yang didominasi orang awam – mengira bahwa kemuliaan seorang waliyullah diukur dari banyaknya karamah yang dimilikinya. Perkiraan ini tidak salah, namun juga tidak benar, karena barometer kemuliaan bukan hanya ada pada karamah.

Persepsi seperti tersebut akan membutakan pada hal lain dari seorang waliyullah, seperti keilmuan dan akhlaknya. Waliyullah hanya akan dipandang dari kehebatan karamahnya, tidak pada kehebatan ilmunya. Inilah yang disebut dengan “overthinking” karamah, yaitu ketika karamah menjadi objek prioritas dalam menilai seorang hingga abai pada luasnya ilmu yang dimilikinya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan