Pendidikan Islam sering kali dibicarakan dalam konteks cita-cita luhur. Visi pendidikan Islam membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Dalam kajian usul fikih, konsep belajar itu disebut dengan ma’lumat. Ma’lumat dibagi menjadi tiga: pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap/perilaku (afektif).
Masalahnya, pendidikan Islam masih menghadapi problem yang bersumber dari dikotomi keilmuan antara ‘ulum ad-din (ilmu agama) dan ‘ulum ad-dunya (ilmu dunia). Dikotomi ini telah menyebabkan pendidikan Islam kehilangan ruh integratifnya. Ia terjebak dalam bentuk yang parsial, dan gagal menghadirkan sosok manusia paripurna sebagaimana yang diidealkan oleh Islam sendiri, yaitu insan kamil.

Akar Historis Dikotomi Keilmuan
Dalam ingatan sejarah, Islam pernah mengalami masa kejayaan ketika ilmu agama dan ilmu dunia tidak dipisahkan. Pada masa klasik Islam seperti masanya Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, dan Ibn Rushd, ilmu pengetahuan berkembang secara integratif. Filsafat, teologi, kedokteran, astronomi, logika, dan fikih dipelajari dalam satu napas epistemologis: mencari kebenaran sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Sehingga pendidikan Islam menemukan jati dirinya dalam hal mengembangkan keilmuan. Dari sana, Islam bisa membuat arah peradaban yang banyak diikuti oleh kalangan yang lain. Bukan hanya sebagai penjawab berbagai persoalan yang dibawa oleh peradaban luar, hingga pendidikan Islam mau tidak mau mengikuti arus itu.
Kolonialisme dan modernisasi Barat, dengan paradigma sekulernya itu, telah menanamkan pemisahan antara ilmu yang “sakral” dan “profan.” Dunia pendidikan Islam di banyak negeri Muslim, termasuk Indonesia, kemudian mewarisi bentuk pendidikan dualistik, di satu sisi ada madrasah dan pesantren yang mengajarkan ilmu agama, dan di sisi lain sekolah umum yang mengajarkan ilmu modern. Dua dunia ini berjalan paralel tanpa banyak dialog epistemik. Akibatnya, pendidikan Islam kehilangan daya transformasi sosialnya dan hanya berfungsi sebagai pelestari dogma, bukan agen perubahan.
Seperti yang dikatakan oleh Abdurrahman Mas’ud, bahwa penderitaan umat Islam Indonesia, itu diakibatkan oleh berkembangnya pola pikir dikotomis. Seperti, istilah santri dan nonsantri di Indonesia sudah semakin menguat. Sampai dekade 1980-an masih terasa ada kesan bahwa santri adalah mereka yang mendalami agama. Sedangkan, yang belajar ilmu-ilmu sekuler adalah mereka yang notebene non antri. (Abdurrahman Mas’ud, Paradigma Pendidikan Islam Humanis (Yogyakarta: IRCiSoD, Cetakan Pertama, Oktober 2020), hlm. 34.)
