Lelaki itu membelah tirai merah marun yang menabiri jendela kamarnya. Sejenak mengamati lelehan embun di punggung kaca, sebelum akhirnya duduk di sisi meja kecil lusuh, tak perlu isapan rokok dan seruputan kopi. Permukaan meja itu hanya dihuni vas tua yang pecah sebelah tanpa bunga. Selebihnya hanyalah garis lingkaran samar, bekas pantat cangkir di hari silam. Juga rengkuh debu dan param jamur halus putih yang digaris jejak semut.
Kekosongan dan segala sunyi yang menyatu dengan kesendiriannya tak dianggapnya masalah. Sebab kebahagiaan yang bisa ia dapat setiap pagi setelah membelah tirai adalah ketika melihat matahari bugil kilau bergantung di ufuk timur, ia membayangkan matahari itu adalah dirinya yang baru, setelah pindah ke rumah baru: setelah berniat hijrah dari hari lalunya sebagai seorang perampok yang tidak hanya mengambil harta, tapi juga pernah menghabisi nyawa. Ketika ingat itu, biasanya ia berurai air mata, mengelus dada, perlahan membaringkan kepalanya di meja itu dengan suara isak yang mencampuri kicau prenjak di luar jendela.
Saat menangis, bayang istrinya berkelebat; kerap berdiri di ruang tamu sambil menuding dengan tatap mata tajam mengancam, mulutnya tak jeda ngomel soal biaya belanja yang kurang, ketidakmampuan membeli perhiasan seperti tetangga, hingga ancaman untuk pisah. Pekerjaannya yang kala itu sekadar jadi pemulung sampah tak bisa mencukupi kebutuhan yang diinginkan istrinya, hingga jalan satu-satunya yang bisa ia tempuh adalah bergabung dengan geng Martono dan merampok ke berbagai daerah.
Ia sebenarnya sangat membenci perbuatan keji seorang perampok, juga merasa iba pada orang yang dirampok, tapi tuntutan keadaan kadang memang seketika menyulap seseorang menjadi pengingkar nurani. Dan begitulah yang ia alami sebulan yang lalu; merampok seorang saudagar dan membunuh seorang Satpam, meski ia sadar hal itu adalah merampok hati nuraninya sendiri.
Ia baru berhenti menangis saat sinar matahari membiaskan urai cahaya perak yang menjarum kulitnya hingga dirinya menggeliat sambil menyeka sisa butiran air mata, dan perlahan ia tersenyum kembali ketika melihat matahari itu meninggi, seperti mendaki lekuk dahan. Ia ingin seperti matahari itu, yang bangkit berkilau dari kesuraman, terus meninggi demi membagi cahaya bagi setiap makhluk-Nya.