Perjamuan Sengkuni

2,323 views

Sengkuni bersama staf IT-nya terbelalak. Berkali-kali mengecek hasil survei Nagari Hastinapura, seolah tidak percaya. Sebentar lagi, Nagari Hastinapura memang akan mengadakan pemilihan Adipati, seorang penguasa Kadipaten. Ada tiga tokoh yang mencalonkan diri. Mereka berasal dari Partai Baladewa, Partai Balakurawa, dan satu lagi dari calon independen alias nonpartai.

Sengkuni berkali-kali mengucek matanya yang sudah mulai rabun jauh. Berkali-kali juga lensa kaca matanya minta ditebalkan, seolah tidak percaya kepada hasil survei yang tertera di monitor laptopnya. Beberapa lembaga survei menyatakan bahwa calon Adipati dari independen akan mendapatkan kepercayaan masyarakat kadipaten. Delapan puluh persen lebih suara mendukung calon independen ini, sisanya untuk calon dari Partai Baladewa dan BalaKurawa. Sengkuni terpana. Menerawang jauh membayangkan kelangsungan Nagari Hastinapura. Sengkuni tertunduk, sembilu. Dipandanginya foto seratus putra Destarasta di dinding kantornya.

Advertisements

“Rupanya masyarakat sudah hilang kepercayaan. Tidak kepada Kurawa, tidak juga kepada Pandawa. Pertanda apakah ini, Wahai Sang Pemilik Jagad?” katanya sembari berjalan mengelilingi potret seratus putera mahkota.

“Independen tidak berhak mengatur Nagari Hastinapura. Termasuk Partai BalaPandawa. Hanya keturunan sah dari Wicitrawirya yang boleh nepotisme. Ini tidak bisa dibiarkan,” Sengkuni menggumam sendiri. Ia telah selesai melihat pajangan foto seratus BalaKurawa, kembali memutar, sampai pada sang sulung, Duryudhana. Sengkuni berhenti sambil tersenyum.

“Kamu, anakku Duryudhana. Hanya kamu dan adikmu, sembilan puluh Sembilan, yang berhak menduduki jabatan, kekuasaan, menguasai kantor-kantor penting negara. Partai lain tidak. Ini kok ada independen nglamak. Ini tidak boleh dibiarkan!”

Sengkuni mencoba mengingat kembali, betapa Destarata dan Gandari yang karena tuna netra menitipkan seratus putranya kepada Sengkuni untuk mengasuhnya. Ia trenyuh kepada Duryudhana, sang sulung. Betapa ia harus kalang kabut, mengurusi kesembilan puluh sembilan adik-adiknya. Hidup nyantri di padepokan Sengkuni, yang jauh dari kemewahan dan para pengawal ataupun abdi dalem. Duryudhana harus capai memandikan dan merawat adik-adiknya ketika ada yang sakit, memasak makanan bagi mereka, mencuci pakaian mereka, nyeboki, momong, meninabobokan sebelum tidur, dan banyak lagi. Duryudhana melakukan tugas kesulungannya dengan penuh amanah, tak heran jika kelak kesembilan puluh sembilan adiknya, sangat tunduk dan patuh kepadanya.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan