Dalam beberapa tahun terakhir, Nahdlatul Ulama (NU)—organisasi Islam terbesar di Indonesia—sering menjadi sorotan bukan hanya karena peran keagamaannya, tetapi juga karena manuver politik dan ambisi ekonominya. Mulai dari penempatan sejumlah kader di jajaran komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga perdebatan panas mengenai izin usaha pertambangan (IUP) bagi organisasi keagamaan, dinamika ini memicu perdebatan sengit di internal: Apakah NU sudah terlalu jauh dari jalurnya?
Setelah mengalami integrasi erat dengan kekuasaan, sebuah pertanyaan krusial kembali mencuat, seolah memanggil memori masa lalu yang indah: Perlukah Nahdlatul Ulama mengulang sejarah dan kembali menegakkan Khittah 1926 secara ketat?

Kembali ke Khittah 1926 secara harfiah mungkin terasa sulit di tengah hiruk pikuk politik modern. Namun, artikel ini berargumen bahwa memperkuat nilai-nilai inti Khittah adalah sebuah keniscayaan etis untuk menjaga independensi moral dan kredibilitas NU di tengah abad kedua berdirinya.
Jantung Khittah 1926
Khittah 1926 bukanlah sekadar nama dokumen. Ia adalah sebuah pedoman fundamental yang menegaskan identitas dan arah gerak NU. Intinya sederhana: NU adalah organisasi sosial-keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Ia tidak terafiliasi secara struktural dengan partai politik manapun.
Tujuan utamanya, yang diperjuangkan kembali oleh Gus Dur pada Muktamar Situbondo 1984, adalah untuk menjaga independensi NU. Gus Dur sadar bahwa keterlibatan struktural yang terlalu dalam dalam politik praktis hanya akan memecah belah dan mengerdilkan peran NU sebagai payung bagi umat, bukan sebagai alat bagi partai tertentu. Khittah memaksa NU untuk fokus pada kulturalisasi ajaran Aswaja di masyarakat, menjauh dari tarik-menarik politik praktis yang cenderung koruptif.
Kembali ke Khittah
Bagi kelompok yang merindukan NU era Gus Dur, kembali ke Khittah adalah solusi untuk mengembalikan marwah organisasi. Ada beberapa argumen yang berakar pada independensi moral.
Pertama, menjaga kredibilitas dan jarak moral. NU adalah organisasi ulama yang harus bertindak sebagai penyeimbang moral bangsa. Ketika pimpinan PBNU duduk di kursi kekuasaan atau terlibat dalam bisnis besar yang difasilitasi negara, fungsi kritik otomatis melemah. Suara NU pun dicurigai sebagai perpanjangan tangan pemerintah, menghilangkan bobot moralnya. Kembali ke Khittah akan menegaskan kembali posisi NU sebagai kekuatan sipil independen.
Kedua, fokus pada umat dan pendidikan terselamatkan. Energi organisasi yang terkuras untuk lobi politik, urusan korporasi, dan perebutan jabatan struktural secara tidak langsung mengalihkan perhatian dari agenda utama: pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Sumber daya terbaik NU seharusnya kembali difokuskan pada ribuan pesantren, madrasah (Lembaga Pendidikan Ma’arif), dan inisiatif kesehatan kerakyatan. Khittah adalah cara untuk memaksa struktur NU kembali melayani kebutuhan dasar umat, bukan kepentingan elit.
Ketiga, dalam Khittah, otoritas tertinggi berada di tangan Syuriah (dewan ulama yang dipimpin Rais Aam). Jika NU terlalu larut dalam politik dan bisnis, Tanfidziyah (badan pelaksana) akan cenderung mendominasi, membuat keputusan-keputusan pragmatis yang beraroma politik, tanpa sepenuhnya tunduk pada bimbingan spiritual dan moral ulama sepuh. Kembali ke Khittah berarti menguatkan kembali posisi Syuriah sebagai rem etika organisasi.
Argumen Kontra
Di sisi lain, kaum modernis dan strukturalis berpendapat bahwa idealisme Khittah tahun 1980-an sulit diterapkan secara mentah-mentah pada konteks abad ke-21. Dunia sudah berubah, dan NU harus ikut berubah. Ada beberapa argumen yang mendasari hal tersebut.
Pertama, realitas politik yang tak terhindarkan. NU adalah organisasi dengan massa terbesar di Indonesia. Tidak mungkin sebuah kekuatan sosial-keagamaan raksasa bisa sepenuhnya lepas dari gravitasi politik. Pengaruh NU diperlukan di pemerintahan untuk mengawal kebijakan agar tidak merugikan umat, terutama dalam isu-isu sensitif seperti pendidikan agama, radikalisme, atau ekonomi syariah. Menarik diri total dianggap sebagai tindakan apolitis yang justru merugikan umat.
Kedua, kebutuhan finansial skala besar. Untuk mengelola aset, ribuan lembaga pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia, NU memerlukan sumber daya finansial yang sangat besar. Pendapat Kontra berargumen bahwa kemitraan dengan BUMN atau keterlibatan dalam usaha skala besar (seperti izin tambang yang kontroversial) adalah salah satu jalan untuk mencapai kemandirian finansial struktural. Menarik diri dari peluang ekonomi akan membuat NU menjadi organisasi raksasa yang powerless secara finansial.
Ketiga, peran sebagai penjaga ideologi negara. Keterlibatan aktif di pusat kekuasaan dan kementerian dianggap penting untuk memastikan ideologi moderat Aswaja NU menjadi bagian dari kebijakan publik. Dengan mengisi posisi strategis, kader NU dapat membendung pengaruh ekstremisme dan intoleransi di birokrasi dan institusi negara. Dalam pandangan ini, Khittah 1926 adalah konteks politik Orde Baru yang represif, sementara kini, keterlibatan adalah wujud tanggung jawab kewargaan.
Revitalisasi Nilai Khittah
Dilema ini menunjukkan bahwa tidak ada jawaban tunggal. Kembali ke Khittah 1926 secara harfiah mungkin mengisolasi NU, tetapi mengabaikannya sama saja menghilangkan identitas. Jalan tengahnya adalah Revitalisasi Nilai Khittah.
NU tidak perlu kembali ke isolasi politik tahun 1984, tetapi harus menerapkan aturan ketat untuk membedakan kader dari organisasi. Misalnya, dalam bidang politik, boleh terlibat, tapi garus tegas menjaga jarak. Pimpinan organisasi boleh berpolitik atau berbisnis, tetapi harus ada mekanisme sanksi keras jika kepentingan organisasi diseret untuk kepentingan pribadi atau kelompok politik.
Berikutnya, adanya transparansi pengelolaan organisasi. Semua pengelolaan aset, dana, dan hubungan dengan BUMN atau pemerintah harus diaudit secara independen dan hasilnya wajib disampaikan secara transparan kepada publik Nahdliyin. Transparansi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan. Selain itu, dalam hal anggaran dan alokasi sumber daya manusia, porsi terbesar harus dikembalikan untuk memperkuat pendidikan, dakwah, dan program grassroots.
Warisan Abad Kedua
Dilema Khittah adalah dilema antara kemewahan struktural (kekuasaan dan uang) versus kemuliaan moral (independensi dan kesederhanaan). Transformasi NU adalah keniscayaan, tetapi ia harus dilakukan tanpa mengorbankan roh kerakyatan yang menjadi ciri khasnya.
Abad kedua NU menuntut introspeksi mendalam. Jika NU tidak mampu menjaga jarak dari kekuasaan dan godaan harta, ia mungkin akan dikenang sebagai organisasi yang berdaya secara politik dan ekonomi, namun kehilangan roh kerakyatannya, menjadi entitas yang kuat namun tidak lagi independen. Mempertahankan nilai Khittah adalah cara NU menjaga diri, agar tetap menjadi jangkar moral bangsa yang dicintai karena kesederhanaan dan kemuliaannya.
