Pada tahun 1972, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menulis artikel ringkas namun strategis berjudul “Pesantren Profil Sebuah Subkultur”. Dua tahun kemudian, ia menulis lagi “Pesantren sebagai Subkultur”.

Kedua tulisan tersebut bukan formula akhir, melainkan embrio ide yang tumbuh dalam relasi antara kebudayaan dan kekuasaan pada awal Orde Baru. Di sana Gus Dur menyodorkan keberanian intelektual: pesantren adalah subkultur Indonesia —dunia yang memiliki nilai, norma, bahasa, ritus, dan struktur sosial sendiri.

Gagasan itu relevan dan brilian untuk zamannya. Pesantren ketika itu berada dalam tekanan: marginalisasi sosial, stigma keterbelakangan, dan keinginan negara menjinakkannya menjadi instrumen pembangunan. Dengan menyebut pesantren sebagai subkultur, Gus Dur melakukan dua hal sekaligus: membela otonomi pesantren dan memperkenalkan pesantren ke meja modernitas.
Namun lima puluh tahun telah berlalu. Kini pesantren adalah sebuah ledakan yang merambah ke berbagai lini, menjadi simpul pendidikan, ujung tombak dakwah, kekuatan ekonomi dan politik, hingga juru damai di tingkat akar rumput. Di tengah geliatnya yang tak lagi bisa dipinggirkan, sebuah pertanyaan mengendap: masih relevankah menyebut pesantren sebagai subkultur? Ataukah pesantren telah bertransformasi menjadi salah satu kultur Indonesia —pilar kebudayaan yang ikut menentukan arah bangsa?
