Seorang perempuan muda dengan sweater abu-abu yang sedang melintas di tepi jalan raya tiba-tiba berhenti. Dengan penuh kemarahan, ia memaki dua perempuan muda berwajah oriental yang akan menyeberang. “You brought corona here… you Asian dog!” ucap si pemaki. Tak berhenti di situ, si pemaki itu pun meludahi mereka.
Video yang menayangkan perilaku rasis itu beredar viral di media sosial dan menuai beragam kecaman yang mengutuk rasisme dan kekerasan terhadap dua perempuan muda tersebut. Belakangan, diketahui bahwa peristiwa itu terjadi di sebuah jalanan di Sidney, Australia.
Apakah rasisme hanya terjadi di sana? Sayangnya tidak. Di tempat-tempat terdekat di mana kita tinggal, rasisme ini muncul, menggerogoti tidak saja kewarasan kita, tetapi juga persatuan dan kesatuan yang kita idealkan sebagai perekat sebuah bangsa multikultur dengan luas wilayah tidak main-main, Indonesia.
Di tengah pandemi Covid-19 yang merebak sejak pengujung 2019 di Wuhan, China, sampai kemudian menjadi pandemi global di nyaris semua negara di dunia, perilaku rasis sayangnya juga banyak ditemui di Indonesia, khususnya di media sosial. Misalnya, penyebutan virus Covid-19 sebagai “virus China” kemudian komentar atau unggahan-unggahan yang merujuk pada kebencian dan permusuhan pada warga keturunan Tionghoa dengan mengaitkannya sebagai bagian dari pembawa atau penyebar virus Covid-19. Padahal, tentu saja tidak ada hubungannya. Sebab, penyebaran dan penularan virus sama sekali tidak melihat ras atau identitas sosial seseorang. Ada juga yang menormalisasi rasisme ini dengan olok-olok yang ditujukan pada etnis Tionghoa seolah-olah ungkapan-ungkapan rasisme itu “cuma bercandaan.”
Berbicara mengenai rasisme di Indonesia tentu hal ini memiliki sejarah panjang. Secara historis, rasisme terhadap warga negara keturunan Tionghoa ini bisa dilacak kembali sejak masa kolonial. Politik memecah belah yang menjadi dasar dibangunnya kekaisaran Hindia oleh Belanda melahirkan sistem ras yang menempatkan bangsa Eropa di jenjang sosial paling atas, sedangkan orang Tionghoa, disusul pribumi ada di kelas bawahnya.
Pengaturan ini dirancang untuk memisahkan dan mengadu domba orang Tionghoa dan pribumi serta membangkitkan kebencian pribumi terhadap keturunan Tionghoa melalui kecemburuan dengan menganggap kelompok keturunan Tionghoa ini diberi hak khusus oleh bangsa Belanda. Padahal, di waktu yang sama, Belanda pun melakukan kekerasan terhadap orang keturunan Tionghoa karena ada ketakutan kalau kelompok kelas, yang umumnya berisi para pedagang-pebisnis ulet ini, semakin bertambah kuat. Pembantaian berdarah terhadap orang-orang keturunan Tionghoa oleh Belanda ini terjadi pada kurun 1700-an dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Selepas proklamasi kemerdekaan, orang keturunan Tionghoa memang memperoleh kebebasan untuk mendapatkan kewarganegaraan. Namun, diskriminasi ternyata terus berlanjut. Apalagi pasca geger 1965, di mana muncul ketakutan bahwa semua orang keturunan Tionghoa di Indonesia memiliki hubungan erat dengan komunisme yang menyebabkan pemerintahan Orde Baru memberlakukan kebijakan asimilasi. Akibatnya, orang keturunan Tionghoa tak lagi bisa melakukan kegiatan-kegiatan budaya yang biasa mereka lakukan. Rasisme yang terus dipelihara secara tidak sadar ini terlihat sekali di masa kejatuhan rezim Orde Baru, di mana para warga negara keturunan Tionghoa ini menjadi sasaran amuk massa dan penjarahan, tidak hanya di ibu kota tetapi juga di beberapa daerah lainnya.
Upaya melawan diskriminasi dan rasisme terhadap orang Tionghoa mencapai momentumnya ketika Gus Dur menjadi presiden dan orang keturunan Tionghoa kembali bisa merayakan Imlek dan melakukan kegiatan-kegiatan budaya mereka.
Di tengah pandemi Covid-19 yang membuat babak belur nyaris semua orang, rasisme yang diwarisi sejak jaman kolonial kembali muncul. Atau bisa jadi, rasisme itu tidak pernah hilang karena selalu dipelihara dalam ingatan bawah sadar sebagai akibat dari gagalnya upaya dekolonisasi. Sasaran kemarahan akan mewabahnya Covid- 19 beberapa dialamatkan pada orang-orang keturunan Tionghoa yang bahkan tidak tahu apa-apa.
Padahal, beragam berita mengenai orang-orang keturunan Tionghoa yang tetap membuka toko mereka dengan harga wajar dan menolak pembeli yang melakukan panic buying juga membanjiri lini masa media sosial. Begitupun, berita-berita tentang donasi-donasi bagi masyarakat terdampak Covid-19 yang mereka inisiasi juga berhamburan di media sosial. Tetapi, kebencian kadang menutup segala-gala, bahkan akal sehat dan rasa keadilan.
Rasisme ini tentu saja tidak bisa dibiarkan karena bisa berkembang menjadi konflik rasial yang merusak dan mencabik kebhinnekaan. Sebagai bagian dari penganut agama dengan jumlah terbesar di Indonesia yang belajar Islam dengan merujuk pada sosok Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan cinta kasih, perkara rasisme bukanlah sebuah hal yang bisa diterima apalagi dinormalisasi.
Ada banyak sekali hadist nabi yang meriwayatkan narasi cinta kasih sebagai basis kehidupan beragama salah satunya yang kurang lebih berbunyi, “Cintailah makhluk Tuhan yang ada di Bumi, maka para penduduk langit akan mencintaimu.”
Dengan berpegang pada ajaran tersebut, sembari berupaya melawan penyebaran pandemi, perlawanan terhadap bentuk-bentuk rasisme juga harus terus disuarakan. Sebab, semua orang sama-sama rentan dengan penyebaran virus Covid-19 ini, tanpa memandang ras, suku, agama, dan status sosial. Sehingga, alih-alih menggaungkan ujaran atau perilaku rasisme, sebaiknya semua bersama-sama bahu membahu berupaya sebaik-baiknya untuk saling peduli dan saling menjaga selama menghadapi pandemi ini.