Kenapa di Indonesia ada pondok pesantren, lembaga pendidikan keagamaan yang nyaris tak ada padanannya bahkan di negara asal dari mana Islam menyebar? Mampukah lembaga tradisional yang sudah berumur ratusan tahun ini terus bertahan di tengah gempuran gelombang perubahan dari berbagai penjuru yang kian dahsyat?
Hari-hari ini, pertanyaan tersebut terasa penting diajukan karena dua hal. Pertama, banyak kalangan yang mempertanyakan relevansi model pendidikan tradisional pesantren di tengah zaman yang demikian canggih. Kedua, bagaimana pesantren akan bertransformasi sehingga kompatibel dengan zamannya. Melalui pendekatan retrospeksi, bisa dilihat kemungkinan-kemungkinan perubahan yang akan terjadi pada pesantren di masa depan.


Islam dan Peradaban Nusantara
Pada abad ke-7 Masehi, ketika Islam mulai didakwahkan sebagai kepercayaan baru di tanah Arab, Nusantara bukanlah hutan perawan. Bukan pula rawa-rawa atau lautan luas tak berpenghuni. Nusantara telah menjadi peradaban maju, jauh melampaui Eropa, saat Amerika Serikat pun masih belum dikenal. Ketika itu Nusantara sudah menjadi persilangan peradaban dunia (Dennys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. 1990-1996).
Pada abad yang paling dini, telah ada Kerajaan Kutai, Tarumanegara, lalu Sriwijaya, Mataram Kuno, Singosari, dan Majapahit. Kerajaan-kerajaan itu hanyalah sedikit contoh betapa Nusantara telah menjadi salah satu kekuatan dunia dengan peradaban yang sangat maju untuk ukuran saat itu.
