Ilustrasi Marx dan santri

“Santri Marxis”

Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Namun tidak semua warganya pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Ironisnya, banyak yang berbicara tentang agama, tetapi seringkali tanpa landasan yang kokoh, tanpa memahami matan dan qawa’id yang seharusnya mendasari percakapan tersebut.

Pertanyaannya: apa parameter mereka ketika berbicara agama? Apakah agama menjadi sesuatu yang seksi untuk dibahas, atau hanya sebatas komoditas konten yang mampu mengundang reaksi banyak orang?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Dalam konteks masyarakat Indonesia, agama memang kerap menjadi pemicu kegaduhan. Menurut perspektif mantiq, fenomena ini bisa dianalisis sebagai kontradiksi antara mafhūm dan mashādaq: mafhūm “fasih berbicara agama” dipasang pada subjek “orang yang tidak memahami matan”, sehingga terjadi disonansi epistemik. Ironisnya, justru kegaduhan ini, secara dialektis, menandakan potensi kekuatan besar yang tersimpan dalam umat. Agama, dalam kapasitasnya yang autentik, memiliki energi transformasi sosial yang belum tergarap secara maksimal.

Syekh Kholil Bangkalan pernah menubuatkan: bakal ada suatu zaman, di mana “telur ayam sudah bisa bersuara.” Analogi ini sebetulnya kritik tajam terhadap proliferasi opini agama yang lahir dari ketidaktahuan. Orang-orang yang baru mengenal matan atau membaca terjemahan ala Google Subah, merasa paling benar, paling kritis, persis seperti konten kreator modern yang sedang menggegerkan jagat pesantren. Mereka berbicara seolah-olah memiliki legitimasi epistemik, padahal fondasinya masih tipis. Dalam terminologi mantiq, ini adalah kesalahan logika kategori: menempatkan predikat kesempurnaan pengetahuan pada subjek yang belum mencapai maqām ilmu.

Namun, di balik hiruk-pikuk ini, ada pertanyaan yang lebih mendasar: apa peran agama dalam ruang lingkup ekonomi? Seandainya agama kita lebih galak pada kemiskinan, lebih keras pada ketidakadilan, lebih vokal dalam memperjuangkan kelas buruh, dan tidak terjebak pada ritual semata, niscaya kekuatan transformasi sosialnya akan berbeda. Seandainya ada “santri penganut marxisme”—sebuah konsep yang mungkin terdengar kontradiktif bagi sebagian orang, namun dalam kerangka dialektika Hegelian-Marxis, kontradiksi itu justru menghasilkan sintesis yang subversif dan produktif.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan