Satu Cerita Tiga Tokoh Bayangan

490 kali dibaca

Akan saya ceritakan kepadamu tentang Gumira yang selalu menunggu dan akhirnya jatuh cinta kepada senja. Senja yang bias cahayanya menyelinap ke balik jendela. Senja yang sulur warna cahayanya membuat Gumira selalu berdebar. Senja yang tak pernah ia tinggalkan meski hanya sesaat.

Gumira benar-benar memerhatikan efek detail cahaya senja dengan penuh seluruh dan mencatat setiap efek bayangan yang ditimbulkan dalam lembaran buku kusam, dan Gumira menyebutnya Kitab Omong Kosong.1

Advertisements

Perihal sebutan Gumira terhadap buku kesayangannya itu tentu tak ada hubungannya dengan subjudul buku Raja Omong Kosong2-nya Salman Rusydie, novelis kenamaan yang lahir dan besar di Bombay, India. Tidak, sama sekali tidak ada hubungannya. Gumira menyebut Kitab Omong Kosong karena semata-mata sampai malam menjelang ia belum menemukan judul yang cukup mewakili kepingan-kepingan gagasannya.

Nah, datanglah menjelang petang. Datanglah dan berdirilah di seberang jalan atau di antara bangunan-bangunan tua, kemudian pandang dan perhatikan sebuah jendela yang menghadap persis ke jalan raya.

Kamu tahu? Di jendela itulah, Gumira, setiap sore berdiri menunggu senja tiba.

Setiap menjelang petang jendela itu bagai dilapisi akelik, emas, dan sepintas pada sela-sela jendela bagai tersimpan mutiara yang akan membuatmu tak akan bisa berpaling. Dari jendela itulah Gumira senantiasa melihat segala sesuatu, termasuk sesosok lelaki tua yang berjalan pelan, dan tak jauh dari lelaki itu seorang pemuda berambut sepunggung sambil berjalan lebih pelan ia terus memandang ke tanah, mencari sesuatu yang entah apa. Ya, setiap kali melintasi jalan itu lelaki muda itu merunduk dan sesekali membuang pandang ke arah perempuan paro baya di seberang jalan, perempuan yang setiap saat bersandar pada jendela.

Gumira tak pernah memerhatikan sungguh-sungguh dua lelaki dan satu perempuan itu. Setiap kali sepasang matanya bersitatap-pandang, Gumira hanya menyunggingkan senyum, sesekali berkata lirih. Ah, Danarto, gumamnya. Gus Noor, hei, ngapain ia sore-sore begini di jalan raya? Mungkinkan ia tengah mencari Sepotong Bibir di Jalan Raya?3

Dan perempuan itu, ah, sesungguhnya Gumira penasaran pada perempuan itu. Ia merasa tidak asing dengan perempuan yang berdiri di balik jendela rumah seberang jalan itu. Bukankah itu Alina?Gumira bertanya ragu. Seandainya Gumira tak ingin kehilangan keindahan senja dan ia sudah berjanji sebelum menemukan judul atas buku itu ia tak akan pernah beranjak. Kalau saja judul itu sudah kutemukan sudah pasti aku bergegas menemui Alina.

Gumira memang tak pernah berhasil. Lebih tepatnya selalu kurang puas setiap kali dapat ide judul untuk kitab tuanya itu. Mula-mula ia memberinya judul Negeri Kabut, Kitab Omong Kosong, tapi kemudian ia mengelak dan merasa judul tersebut kurang mewakili kepingan gagasan yang sudah ia catat di lembar-lembar halamannya yang kusam.

Hingga akhirnya diam-diam Gumira keluar dari kamarnya menemui Gus Noor. Gumira tahu, Gus Noor adalah salah satu pengagum dirinya. Dan kepada Gus Noor itulah Gumira berpesan, jika sekali waktu bermuka-muka dengan sepotong senja yang sanggup melahirkan ide untuk sebuah judul besar kitab yang sampai detik ini terus ia bawa ke mana hendak pergi hingga habis terkikis sepoi hari.

“Semoga ini bukan kitab penghabisan,” harapnya, “kuharap kau mau bersusah sungguh, anak muda, mencari dan menemukan hakikat dari senja hingga kau berjumpa dengan judul yang kedatangannya bukan karena dipaksa, tapi ia datang karena ia memang menginginkan dirinya menjadi bagian dari rencana besar dan gagasan-gagasanku.” Gus Noor terus menunduk mendengar petuah sang idola. “Ini, sebuah kitab yang pada setiap halamannya dipancari cahaya senja. Meminjam istilah lelaki di depanmu itu,” Gumira menunjuk ke arah Danarto yang terus berjalan ke arah barat, “setiap halaman dari kitab ini penuh dengan lempengan-lempengan cahaya.”4

“Bagaimana kalau diberi judul Negeri Senja,” usul Gus Noor. Gumira berpaling, memandang nanap ke luar jendela.

“Negeri Senja,” Gumira mengulang usulan Gus Noor, “atau bagaimana kalau…”

“Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Sebentar lagi senja akan tiba, aku ingin kau pergi. Aku ingin sendiri,” potong Gumira dan lekas berpaling meninggalkan Gus Noor.

Ketika hari beranjak petang dan senja menjelma garis-garis portal di sepanjang jalan raya bebas hambatan ia terhenyak dan, ketika awan kumulus mengirimkan gerimis ke batas kota yang seluruh penghuninya tak mau beranjak dari kamar masing-masing, pekerja-pekerja segera berkemas dan meringkuk di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan petugas keamanan lantaran larangan keras bagi semua penghuni kota yang berada di luar rumah apalagi berseleweran di jalanan. Bagi penghuni kota yang coba-coba melangggar akan dikenai sangsi berat. Maka, semenjak larangan itulah kota itu benar-benar menyerupai kota mati, tanpa penghuni. Satu-satunya hiburan bagi mereka adalah ketika petang mengambang dan efek cahaya senja ada yang menjelma liontin, kalung, selendang di teratak-teratak rumah, di beranda dan pada saat itulah mereka berebut celah lubang-lubang untuk mengintip memandang takjub pada garis-garis senja. “Menakjubkan,” komentar seseorang.

“Andai saja kita punya perhiasan dengan warna seindah senja.”

“Bila perlu akan kupotong senja itu dan akan kujadikan hadiah. Ya, sepotong senja untuk pacarku.” ujur Gus Noor.

“Hass… Seno… Has…Salman…” dehem seseorang.

“Ya?” seorang lelaki berpaling. Tanpa diminta ia memperkenalkan dirinya, “namaku Salman Rusdie, cahaya sepotong senja itu,” sejenak ia berpaling kepada seorang yang baru saja berdehem. “Kau tahu akan kujadikan apa cahaya yang maha indah itu?” sejenak Salman Rusdie berpaling, “Cahaya senja itu akan kujadikan sulaman dan racikan pewarna akik,” imbuhnya.

“Aku akan menjadikannya cahaya di tengah kegelapan.”

Sementara, di balik jendela, Gumira terus berdiri.

Ya, setiap matahari lingsir ke barat, awan-awan berarak mengiringi jejak langkah penghuni kota yang penuh debar, tak sabar ingin segera menyaksikan kemilau dan riap senja dari celah-celah persembunyian. Ya, karena hanya garis senja itulah satu-satunya pemandangan paling menakjubkan. Bagi mereka garis senja teramat sangat berharga, seperti sebuah benda yang sangat keramat, tak boleh terlewat meski dalam sekejab. Gumira sendiri tak pernah berhasil memahami kenapa penghuni kota itu lebih mencintai senja ketimbang bintang, sulur fajar, matahari, dan bunga-bunga yang mekar.

Sekali waktu Gumira sengaja berdiri di balik jendela mengintip orang-orang yang bergegas keluar dan betapa kesalnya ia ketika melihat orang-orang berpaling dan anehnya, tak seorang pun peduli pada kelopak bunga dan matahari yang beranjak naik. Hanya dirinya, dirinya yang terpukau kagum pada bias kumulus awan, matahari yang menjelma mata seorang gadis, tulus dan tak membosankan dipandang.

Sesaat Gumira menarik napas dan tak lama berselang dipandanginya orang-orang yang bergegas itu. Bayang-bayang orang-orang itu memanjang ke depan, sementara mereka yang berjalan berlawanan arah bayangan tubuhnya sedikit menyamping, bertubrukan antara bayangan orang yang satu dengan yang lain. Gumira, memandang tajam, seulum senyum mengembang. Sesekali dahinya berkerut, barangkali ia menemukan sesuatu yang ganjil di antara kerumunan itu, sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Ia menerka-nerka dan bertanya: kenapa mereka tergesa-gesa mengejar bayangannya sendiri? Sesat Gumira tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar gedoran pintu. “Sukab,5  mengapa kauculik anak kami?”6 tanyanya dengan nada penuh amarah. “Sukab, Sukab!”

Gumira tampak gemetar, wajahnya pucat, “ak… aku bukan Sukab,” suara Gumira serak. “Namaku Seno Gumira Adjidarma,” imbuhnya.

“Benar kau bukan Sukab?” selidiknya.

Benar, aku bukan Sukab,”

“Buktikan. Keluarlah bawa katepemu!” perintah orang tak dikenalnya itu. Apakah mungking itu Sulaksana? Gumira membatin sendiri.

“Tidak. Aku tidak mau keluar, aku takut kehilangan senja. Aku tidak mau!”

Tanpa berkata-kata lagi orang itu menendang pintu, menggedor dan bahkan mengancam akan merubuhkannya. Tapi anehnya suara teriakan ancaman itu menjelma suara seorang penyanyi yang merdu didengar, dan suara gedoran pada pintu yang tetap kokoh bagai suara rancak perkusi dan, tanpa terasa Gumira berdiri dan menari-nari hingga suara seseorang yang mencari Sukab tak terdengar lagi.

Gumira terus menari seiring jejak langkah orang-orng di jalanan yang terus berlarian. Bagi Gumira suara itu seperti suara komposisi musik jaz yang tak bosan didengar. Dan pertanyaan yang sempat hinggap dalam benaknya; kenapa mereka senang memburu bayangannya sendiri seketika sirna. Ya, sirna, seperti juga mereka yang seketika melupakan beban, petugas kota yang setiap saat datang dengan segala larangan.

Lihatlah, lihat, kini Gumira mengambil kamera dan memotretnya, klik, pret, klik. Preet… Dan, astaga… Gumira mengarahkan lensa kamera pada sesosok Alina yang hanya mengenakan baju tidur dan berada di tengah-tengah orang-orang yang berlarian. Lekuk-lekuk tubuh perempuan itu tampak jelas terlihat. Oh, alangkah anggunnya, Gumira bergumam. Separo wajahnya terbingkai jendela. Rambutnya yang sudah memutih tampak keperakan saat diterpa cahaya senja.

Sadar perempuan itu diperhatikan lekas ia menghindar dan menyelinap menuju tangga sebuah loteng tua di seberang jalan. Sementara di jalanan orang-orang masih terus berlarian. Sambil berlarian orang-orang itu meneriakkan kata-kata yang entah ditujukan kepada siapa.

Sepasang mata Gumira masih terus mencari-cari sesosok perempuan yang ia yakini tak lain adalah Alina.

“Sisakan seliang untukku, Anakku. Cepatlah. Cepat, sebelum senja berganti petang!” teriak seorang lelaki lanjut usia. Dan lelaki yang dipanggil anak itu pun bergegas, menerobos dan menyelinap.

‘Hei. Kau tak boleh seenaknya main salip-menyalip, mentang-mentang laki-laki punya tenaga lebih,” rutuk seorang perempuan yang mengenakan kaus putih dan bertuliskan Saman.

“Siapa yang cepat itu yang dapat,” jawab lelaki itu acuh dan terus berlari.

“Dasar tak menghargai kesetaraan,” perempuan itu mendesis bengis.

“Cepatlah. Cepat sebelum gelap menyelimuti kota,” imbau seorang lelaki berpakaian Satpol PP.

“Kemana sebenarnya kita akan menuju?” tanya seorang gadis kepada ibunya.

“Mencari tempat terindah untuk mati,”7  jawabnya.

“Hah? Asytagfirullah…” Danarto yang mendengar percakapan itu mengelus dada lantaran orang-orang berani mendahului takdir.

“Cepatlah, Pak Danarto…” teriak seorang lelaki muda yang datangnya entah dari mana. “Ini bukan waktunya meratap. Kita mesti cari seliang dua liang buat jasad kita,” desak anak muda itu, dan, “Aduh,” mendadak ia mengernyitkan kening ketika melihat seorang lelaki yang rambutnya sepunggung membungkuk mencari-cari sesuatu.

“Hei, Gus Noor, apa yang kamu cari dalam suasana genting seperti ini?” serunya. “Cepatlah sebelum hari benar-benar gelap.”

“Memang kenapa kalau gelap. Kenapa kalau genting? Biarlah aku menjadi bagian dari kegelapan,” ketus Gus Noor dengan sepasang mata terus memandang awas ke bawah, mencari sesuatu entah apa. Tapi memang tak ada apa-apa di sana. Hanya sisa jejak langkah orang-orang yang entah menuju ke mana.

“Hei, anak muda, bantu itu temanmu,” teriak Danarto. “Apa yang ia cari?”

“Biarin.” Anak muda itu terus belari, meninggalkan Danarto dan Gus Noor yang terus merunduk-runduk mencari sesuatu, entah apa. Danarto yang sedari tadi mengamatinya diam-diam pun terpancing untuk menghampirinya hingga akhirnya dengan susah payah Danarto beranjak dari tempatnya berdiri, mendekati lelaki yang dipanggil Gus Noor.

“Hei, apa yang kamu cari?” dengan suara serak Danarto bertanya. Gus Noor acuh, ia terus merunduk dan merutuk lelaki yang menanyainya.

“Sepotong bibir dan sepotong senja,” hardik Gus Noor. Danarto tersentak, sebelum akhirnya menggeleng-gelengkan kepala.

“Dunia macam apa yang ada di kepalamu, wahai anak muda?” tanyanya kemudian menjauh. “Dalam kekacauan seperti ini masih sempat-sempatnya memikirkan sepotong senja,” bisik Danarto.

“Demi lempengan-lempengan cahaya.” Mendengar kalimat lempengan-lempengan cahaya, Danarto seketika berpaling, diperhatikannya Gus Noor.

“Apa katamu?” tanya Danarto dengan nada serak.

“Lempengan-lempengan cahaya, orang tua!” seketika Danarto mendongak ke sumber suara seorang perempuan. Suara itu teramat sangat merdu hingga membuatnya merinding. Mungkinkah itu suara seorang perempuan yang kerap memainkan piano8 di tengah sawah ataukah itu suara ibu Fatimah9 yang anak gadisnya telah menelan lembaran-lembaran ayat-ayat suci? tanyanya setengah mengigau.

Sejenak suasana hening. Perempuan yang berteriak dari atas loteng itu pun tak tampak namun suaranya yang merdu ketika meneriakkan kalimat “Lempengan-lempengan cahaya,” suara itu terdengar seperti desau angin mengelus sekujur tubuh. Hangat dan membuat hati Danarto tak kalah berdebarnya dengan orang-orang yang setiap matahari langsir dan berarak hingga senja tiba.

Tak lama berselang suara yang lain membuat Danarto semakin tersentak dengan penuh takjub. “Benar, Pak Dar,” timpal Gumira yang sedari tadi mengintip dan diam-diam memerhatikan sosok perempuan yang berdiri di balik jendela.

Danarto melihat sesosok lelaki, Gumira. Hassyuh, rutuk Danarto sebelum berpaling mencari sesosok perempuan yang memiliki suara yang teramat merdu. “Hei, Gumira, tidakkah kau dengar suara seorang perempuan yang lembut dan merdu suara suaranya seperti denting piano?” tanyanya pada Gumira.

“Itu suara Alina,10 Pak Dar,” jawab Gumira pendek.

“Suara Alina? Jadi itu bukan suara ibu Fatimah, gadis Palestina itu?”

“Bukan, Pak Dar, itu suara Alina.”

“Hah? Di manakah Alinaku? Di mana?” sontak Gus Noor yang sedari tadi merunduk mencari sepotong bibir itu beranjak mendekati Danarto yang masih terpukau kagum.

“Hei, Gus, bagaimana dengan titipanku? Sudahkah kau serahkan sepotong senja untuk Alinaku? Sudah bertemukah kau dengan sepotong senja yang sanggup melahirkan gagasan?” tanya Gumira. Gus Noor terperangah. Ia memandangi Gumira antara riang dan malu. Riang karena sepotong bibir yang ia cari sudah hampir diketemukan, paling tidak nama pemilik bibir itu sudah ia dengar. Alina, Alina, Gumira, Gumira. Oh… seru Gus Noor.

Gumira menyingkap tirai jendela, ia acuhkan seruan Gus Noor, ia biarkan Danarto yang terus penasaran dan kagum dengan suara perempuan yang kini tengah berdiri di balik loteng di seberang jalan. Mampus kau dikoyak-koyak sepi!11 gumam Gumira sembari membuka halaman kitab yang hingga kini ia belum menemukan judul untuk kitabnya itu. Mungkinkah ini kitab kuberi judul Kitab Omong Kosong? Bagaimana kalau Tokoh Bayangan? Dalam sepoi sepi, Gumira membatin.

Segaris cahaya senja menyelinap dan membentuk garis tipis pada tirai yang sesekali bergerak pelan. Garis cahaya senja itu sesekali menjelma tokoh wayang, bergerak ke sana-kemari mengikuti gerak tirai yang diayunkan angin. Dari rumah seberang sayup-sayup Gumira mendengar perempuan itu menyenandungkan potongan bait puisi Senja di Pelabuhan Kecil-nya Chairil Anwar dalam iringan musik jaz:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
mengembus diri dalam mempercaya mau berpaut

…..

Di luar, hari benar-benar gelap sementara Gumira masih terus menderas sebuah kitab yang hingga petang mengambang, judul kitab tua itu tak kunjung ia temukan. Di atas meja tempat ia mendedah halaman-halaman kitabnya kesunyian kian akrab mendekap Gumira.

Jogja-Depok Terluar, 2015-2024.

Catatan:

1. Kitab Omong Kosong adalah kumpulan cerpen Seno Gumira Adjidarma, prosais Indonesia yang sangat produktif. Dalam setiap karya-karya Seno, metafor-metafor senja sangat dominan. Beberapa karya Seno yang sudah terbit antara lain, Kitab Omong Kosong, Sepotong Senja untuk Pacarku, Negeri Kabut, Mengapa Kau Culik Anak Kami, dll.

2. Raja Omong Kosong adalah salah satu bagian dari cerita anak Salman Rusydie, terkumpul dalam buku Harun dan Samudera Dongeng. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Serambi, Jakarta. 2011.

3. Sepotong Bibir di Jalan Raya adalah salah satu cerpen karya Agus Noor.

4. Lempengan-Lempengan Cahaya salah satu satu cerpen Danarto yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpennya yang berjudul Setangkai Melati di Sayap Jibril.

5. Selain Alina, tokoh bernama Sukab selalu muncul dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Adjidarma.

6. Mengapa Kau Culik Anak Kami adalah judul Cerpen Seno Gumira Adjidarma.

7. Tempat Terindah untuk Mati adalah salah satu cerpen Seno Gumira Adjidarma.

8. Salah satu fragmen dan perempuan yang memainkan piano di tengah bentangan sawah adalah bagian dari tokoh cerpen karya Danarto yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen Godlob.

9. Nama Fatimah adalah tokoh cerpen Danarto yang berjudul Lempengan-Lempengan Cahaya.

10. Dalam beberapa cerpen Seno, selain tokoh bernama Sukab tokoh Alina selalu muncul dalam cerpen-cerpennya.

11. Mampus kau dikoyak-koyak sepi dikutip dari puisi SIA-SIA karya penyair Chairil Anwar. Saya kutip secara lenglang di sini:

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang dan berkarang
Mawar merah dan melati putih
Dan rah dan suci
Serta kupandang yang memastikan: untukmu.

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hampir mengerti

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Ilustrasi gambar: Condro Priyoaji.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan