Kasus seorang anak kiai di Jombang, Jawa Timur yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena kasus pencabulan menjadi kegelisahan saya sebagai warga nahdliyin. Citra pondok pesantren menjadi “kawah candradimuka” bagi santri yang digembleng akidah iman dan takwa tercoreng dengan perilaku kontras pengurus atau pengelola ponpes.
Bahkan sebelum kasus di Ponpes Shiddiqiyah, ada yang lebih miris dengan kasus pemerkosaan 13 santriwati oleh ketua forum pondok pesantren pondok tahfiz al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru Bandung. Pelaku akhirnya divonis hukuman mati di Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Di Depok juga ada kejadian serupa setelah polisi menetapkan tiga ustaz dan seorang santri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencabulan terhadap belasan santriwati di Pondok Pesantren Istana Yatim Riyadul Jannah, Depok. Belum lagi kasus lainnya yang belum diangkat di media.
Pondok pesantren merupakan wajah dari Nahdlatul Ulama dalam membentengi ajaran masyarakat dari kekuatan Islam fundamentalis. Bahkan kantong politik pondok pesantren menjadi daya tawar partai dan politikus meraup banyak suara di pileg maupun pilpres. Ketika mulai bangkit seiring kepemimpinan Jokowi yang mendukung program pondok pesantren, kasus pelecehan seksual atau pencabulan menciptakan sikap skeptisisme masyarakat untuk memondokan anaknya.
Apalagi lingkungan pondok pesantren yang jauh dari pengawasan orang tua. Santri harus bermukim dengan doktrin sami’na waatho’na kepada kiai atau ustaz. Orang tua yang berharap menyekolahkan anak ke pondok pesantren agar jadi alim dibayangi ketakukan pada sikap predator seksual pengawas atau pengelola pondok.
Tentu tidak adil menyatakan bahwa satu atau dua kasus pelecehan seksual di lingkungan pondok pesantren bakal mewakili mayoritas ponpes di Indonesia. Apalagi laporan Kementerian Kementerian Agama menunjukkan, ada 26.975 pondok pesantren di Indonesia per Januari 2022. Jumlah sebanyak itu memungkinkan beberapa di antaranya tidak menerapkan kaidah-kaidah kepesantrenan dengan perilaku bejat.
Seperti nasihat Imam Al Ghazali, bahwa manusia akan selalu bergulat dengan hawa nafsunya sendiri. (1) Orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya. “Maka, pernahkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.” (Al-Jatsiyah: 23).