Syekh Musa, Sang Sufi Crossdresser

297 kali dibaca

Tasawuf atau dalam bahasa lain sufisme, ada pula yang menyebut dengan mistisisme Islam merupakan kerangka perjalanan seorang salik menuju kepada pencipta.

Umumnya, para sufi (sebutan bagi pelaku tasawuf) tidak terlalu bahkan memusuhi hal-hal keduniawiaan. Sehingga ia memfokuskan dirinya kepada sang pencipta.

Advertisements

Mereka juga beranggapan bahwa cinta dan kasih sayang adalah dua hal fundamen untuk membangun hubungan dirinya dengan sang pencipta. Selain dua hal tersebut para sufi juga tak lupa untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan dirinya terhadap sang pencipta.

Namun, dalam konteks keduniwiaan terma ‘cinta’ seringkali merujuk pada rasa terhadap lawan jenis dan menganggap rasa terhadap sesama jenis merupakan tindakan atau orientasi yang berbeda atau bahkan dianggap penyelewengan dan penyakit yang harus disembuhkan. Padahal terma ‘cinta’ sendiri tidak dapat digunakan secara arbitrer dan dikotomis hanya terhadap lawan jenis.

Perihal bahasa memang kontruksi masyarakat yang telah mengakar. Sehingga untuk mengubah suatu makna bahasa tertentu dirasa susah bahkan tidak mungkin.

Mengenai konsepsi bahasa yang telah dijelaskan tersebut telah dikonsumi secara terus menerus oleh masyarakat. Bahkan, dalam dunia tasawuf yang penuh dengan rasa kasih sayang pun tak jarang diartikan serupa.

Perihal ketokohan sufi pun dinilai terlalu rigid dan hanya mengonfirmasi para tokoh yang dianggap heteroseksual. Segala cerita tokoh yang mengemban identitas seksual yang beragam dipinggirkan dan tidak diceritkan dalam sejarah. Sehingga kecenderungan partriarkis dalam dunia tasawuf pun kian menguat (Syaikh, 2002: 12).

Bahkan, melalui pembacaan Amar Alfikar (2023) ia menyadur bahwa pengarang sajak fenomenal ‘al-I`tirof, yakni Abu Nawas, merupakan seorang homoseksual.

Lebih dari itu, ia pun menganggap bahwa beragam upacara Islam (spiritual) pun turut melibatkan individu yang tergolong dalam minoritas gender.

Tentu hal ini menunjukan bahwa rasa cinta dan kasih sayang dalam Islam tidak memandang jenis kelamin dan gender tertentu secara ekslusif. Justru kebalikannya, minoritas gender pun turut menjadi perhatian agama (Islam) dan seharusnya agama (Islam) hadir sebagai ruang aman bagi mereka.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan