Pertunjukan demokrasi yang terjadi pada Senin, 11 April 2022 di Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia sungguh ternoda. Setidaknya saya mencatat ada dua “kegilaan” yang menodai demonstrasi mahasiswa di bulan suci Ramadan ini.
Yang pertama adalah peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok pengunjuk rasa terhadap Ade Armando, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Betapa, dalam peristiwa yang terjadi di kawasan Gedung DPR RI itu, Ade Armando digebuki beramai-ramai sampai babak belur dan berdarah-darah. Tidak cukup, Ade Armando juga dipermalukan di area publik dengan cara ditelanjangi hingga bugil. Kebugilannya menjadi tontontan massa.
Siapa pun sosok Ade Armando ini, sebenci apa pun kita terhadap sikap dan pikiran-pikirannya, adalah sebuah tindakan kriminal melakukan pengeroyokan, penganiayaan, dan penelanjangan terhadap dirinya seperti itu, lebih-lebih di bulan suci Ramadan ini. Itulah “kegilaan” yang pertama.
Yang kedua adalah peristiwa sekelompok mahasiswi pengunjuk rasa yang membentangkan spanduk “gila” nan jorok. Gambar-gambar spanduk yang mereka usung berseliweran di media sosial dan media online, dan segera menyedot perhatian publik.
Bayangkan, dengan bangganya, seorang mahasiswi cantik yang tubuhnya dibalut hijab nan indah itu membentangkan sebuah spanduk bertuliskan “Lebih Baik Bercinta 3 Ronde daripada Harus 3 Periode.” Sampai-sampai, di lini masa ada warganet yang berkomentar sarkas, (maaf) “Itu mahasiswi apa pelacur?!
Mungkin si pengusung spanduk itu masih punya asosiasi positif terhadap pilihan diksinya. Tapi, di bulan suci Ramadan ini, apa lacur dipertontonkan kata-kata yang mendemonstrasikan kecabulan dan berahi murahan, alih-alih pikiran-pikiran cerdas. Bukankah apa yang kita demonstrasikan seringkali mewakili alam bawah sadar kita, juga pikiran-pikiran yang tersembunyi di dalam diri kita. Begitu kata teori yang dibangun oleh Sigmund Freud. Dan itulah “kegilaan” yang kedua.
Setidaknya dua kegilaan itulah yang, menurut saya, menodai demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah yang niat awalnya insyaallah juga suci itu. Sebab, memperjuangkan niat suci juga harus dilakukan dengan cara-cara yang terpuji, bukan dilambari rasa benci. Tapi sebagian fakta yang mewarnai kegaduhan politik nasional hari-hari ini telah mempertontonkan hal itu. Dan perilaku kita dalam kegaduhan politik nasional hari-hari ini tak ubahnya bagai menggantang asap. Berjibaku dengan kesia-kesiaan belaka.