Afiliasi kini jadi poin penting dalam banyak hal. Mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, bisnis, bahkan hingga urusan jodoh pun perlu kubangan afiliasi yang jelas.
Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa hanya hidup sebagai dirinya sendiri. Ia akan dinilai dari lingkungan, interaksi, dan kelompok-kelompok sosial tempat ia berafiliasi. Setidaknya, seseorang bisa memberikan penilaian dini terhadap seseorang dilihat dari situasi sosial yang ada di sekitarnya. Misalkan, seorang yang berada di lingkungan penjual daging akan dinilai punya bau badan yang amis. Begitupula seorang yang berada di lingkungan penjual minyak wangi akan dinilai punya bau badan yang wangi.
Di level kesukuan, misalkan. Terlepas dari bebasnya stereotype masyarakat Jawa yang dinilai kalem, ketika seseorang bertemu dengan orang Jawa pasti yang ada dipikiran orang adalah “aku harus sopan.” Ketika seseorang bertemu dengan orang Batak, pasti yang ada di pikiran orang adalah “Aku harus hati-hati dalam bicara.” Dan lain sebagainya. Meskipun validitasnya sudah pasti tidak akurat, namun setidaknya kita akan menilai seseorang dari lingkup dirinya yang lebih luas. Karena afiliasi adalah representasi personal.
Agama pun demikian. Afiliasi paham keagamaan biasanya dicerminkan dari organisasi masyarakat (ormas) berbasis keagamaan yang diikuti seseorang. Di Indonesia, masyarakat Islam memiliki banyak afiliasi yang tentunya punya banyak perbedaan dalam urusan yang bersifat prinsipil. Seperti halnya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, LDII, dan sebagainya. Semuanya punya prinsip masing-masing, berbeda namun tetap punya satu titik poin yang sama, yakni keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, Al-Quran dan Sunnah sebagai pegangan hidupnya, walaupun dengan manhaj pemahaman yang berbeda-beda.
Ada pula beberapa kelompok orang yang menolak afiliasi dalam ber-Islam, dengan berkata bahwa Islam ya Islam saja. Tak perlu melakukan pengkotak-pengkotakan. Orang seperti ini biasanya tidak paham akan dinamika kehidupan sosial keagamaan. Bahkan ketika mereka berkata non-afiliatif, mereka sudah berafiliasi dengan orang-orang non-afiliatif lainnya.
Paradoks yang mereka bangun ini akhirnya menjerumuskan mereka pada inkonsistensi nalar pikir dan mudahnya diombang-ambing ke sana-ke mari. Karena mereka tidak punya pegangan, mereka tidak punya rumah untuk pulang. Tapi yang lebih bahaya lagi adalah mereka merasa paling dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Mereka merasa tidak membutuhkan ulama sebagai “mediator” antara mereka dan kalam-Nya.