Dalam satu sesi diskusi di Kompas TV baru-baru ini, Gus Ulil Abshar Abdalla memunculkan istilah terbarunya: “wahabi lingkungan”.
Serupa istilah “sogokan hasanah” yang ia ujarkan sebelumnya, istilah “wahabi lingkungan” menuai badai kontroversi yang tak kalah ingar.

Istilah itu ia maksudkan untuk kalangan yang secara ekstrem menolak sama sekali mining dalam pertambangan dengan alasan, “industri ekstraksi selalu pada dirinya adalah dangerous, dan itu berbahaya,” jelasnya. Kemudian segera ia merilis istilah lainnya: reasonable environmentalism. Sebuah mazhab yang mengedepankan pendekatan rasional dan, menurutnya lebih tepat untuk menyikapi isu lingkungan.
Disengaja atau tidak, melalui istilah-istilahnya itu secara tidak langsung Gus Ulil berupaya “meringkus” masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat ke dalam satu lingkaran, juga mengelompokkan mereka yang terlibat, setuju, atau sekurangnya abstain dalam lingkaran yang lain. Istilah-istilah itu tampak sengaja dimunculkan, kemudian dilabelkan, untuk dengan mudah selanjutnya melayangkan tudingan bahwa yang ini benar, dan yang itu salah.
Tentu saja cara pandang itu terlampau menyederhanakan persoalan yang sejatinya kompleks. Gus Ulil melakukan lompatan jauh dalam tangga argumentasinya. Ia lantas tiba pada konklusi yang belum utuh, dan sialnya itu menyangkut tuduhan kepada pihak lain.
Simplifikasi itu terlihat jelas saat ia sama sekali tidak mempertimbangkan–kalau tidak sengaja menghindar dari–hal-hal spesifik yang diketengahkan lawan debatnya, Iqbal Damanik. Sebut saja misalnya tentang Peraturan Menteri KKP dan putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil, deforestasi di Indonesia yang melampaui batas, proverty premium yang justru terjadi di hampir setiap daerah pertambangan, dan lain sebagainya. Gus Ulil alih-alih menanggapinya, tanpa keberatan ia justru melabelkan istilah lain pada sikap lawan debatnya: alarmisme. Sebutan, untuk propaganda menyebarkan rumor-rumor menakutkan.
Pada sisi ini, Gus Ulil yang menyebut perlu melihat isu pertambangan dengan lensa yang lebih kompleks, justru tampak menghindar dari kompleksitas di sepanjang perdebatan. Ia berulangkali membicarakan hal-hal yang general, seperti ajakan untuk mengkalkulasi maslahah dan mafsadah yang, sejatinya sedang dilakukan Iqbal bahkan sedari awal. Sementara di saat yang sama pendiri Jaringan Islam Liberal itu seperti abai pada persoalan spesifik yang terjadi di Raja Ampat dan kondisi saat ini.
Problem Modernisme
Salah satu kecenderungan–yang juga problem–manusia modern adalah kegemaran mereka melakukan penyeragaman (order). Dengan positivismenya, modernisme berobsesi menjelaskan, merasionalkan, dan akhirnya menertibkan segala sesuatu. Demi ketertiban itu realitas perlu dikotakkan melalui batas-batas dalam rancang-bangun teks. Istilah-istilah diproduksi untuk mengorganisasi fakta, yang sebenarnya tidak selalu sama.
Pada waktu yang sama, modernisme berupaya serius mengajukan pembedaan (diferensiasi) secara pasti. Misalnya, antara hal-hal yang metafisik dan saintifik, antara yang subjektif dan objektif. Upaya itu kemudian menimbulkan kegandrungan terhadap cara pandang yang selalu biner, dengan menghimpun sesuatu pada bagian-bagian tertentu, dan meletakkannya pada posisi yang berlawanan.
Pada titik ini, kecenderungan-kecenderungan itu mewujud satu kedangkalan berpikir. Realitas yang seringkali berlainan, nyatanya tidak selalu bisa disederhanakan melalui satu tatanan bahasa. Menarik-paksa kenyataan-kenyataan yang beragam ke dalam satu konstruksi teks artinya “membungkam” kompleksitas dan pluralitasnya, yang pada hakikatnya selalu ada dan terus mengalami perubahan.
Watak nalar modern itu pada gilirannya terbentur pada dinding aturan yang dibangunnya sendiri. Usaha untuk merasionalkan segala sesuatu justru menjelma ambisi akan totalitas, yang ditunaikan dengan membredel perbedaan dan keragaman. Kendati puluhan tahun lalu modernisme telah digugat oleh tidak sedikit pemikir barat seperti Lyotard, Foucault, Derrida dan yang lain, bekas-bekasnya masih jelas terlihat dan terasa hingga kini.
Alhasil, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu sukses mempertontonkan kegamangan dan keambiguan paradigma modern. Dengan istilah-istilah buatannya, ia tidak mencoba menjawab persoalan, alih-alih menyelesaikannya.
Istilah-istilah itu–meminjam bahasa Lyotard dalam The Postmodern Condition–dipentaskan sebagai “mitos” yang seolah harus diikuti. Ia hanya diterbitkan, lalu dilimpahkan pada sasarannya. Tidak lebih. Kecuali, dengan ijtihad terbarunya Gus Ulil memiliki kalkulasi maslahah dan mafsadah tersendiri atas penyematan lakab “wahabi lingkungan” terhadap orang-orang yang berseberangan dengan dirinya, sebagaimana yang seringkali beliau kampanyekan.
Tetapi, jika “wahabi lingkungan” ditujukan pada kelompok yang ekstrem terhadap pemeliharaan lingkungan, bukankah kalangan yang disebut moderat terhadap isu pertambangan akan dengan mudah disebut “sunni tambang”? Wallāhu a’lam.