“Jatah tiga ingkung biar saya saja yang bawa. Jatah beras untuk nasi biar saya juga yang mencukupi,” tukas Mbah Mardi ketika rapat persiapan pengajian di masjid kampungnya.
“Terima kasih, mbah,” sahut Pak Sam selaku ketua panitia dengan perasaan lega, karena kelengkapan ubo rampe sedikit bisa teratasi.
Sesampai di rumah, Mbok Sum, istri Mbah Mardi, uring-uringan. “Kung, amal ya amal. Tapi mbok yo taren, izin dulu sama orang rumah. Kamu yang nyanggupi, istrimu ini yang gupuh, kepontalan menyiapkan.”
Mbah Mardi tersenyum, mafhum akan kekesalan istrinya. Mbah Mardi memang selalu saja begitu, sosok orang dusun nan lugu. Mbah Mardi bukan mukhtashar yang pernah nyantri lama di pesantren. Mbah Mardi juga bukan orang yang berharta lebih. Namun, Mbah Mardi begitu ringan tangan, dermawan, tanpa pikir panjang. Jika ada kesulitan apapun tentang kemaslahatan umat, hati Mbah Mardi langsung tergugah.
Jika masjid sedang membutuhkan uang untuk membangun tempat wudhu, Mbah Mardi segera menjual kayu miliknya untuk dihibahkan. Jika ada santunan muharram, Mbah Mardi menjual simpanan gabah untuk disedekahkan. Jika madrasah diniyah memberikan bingkisan lebaran untuk para ustaznya, Mbah Mardi merelakan kambingnya dijual untuk diberikan.
Mbok Sum sebenarnya kagum akan semangat jihad suaminya yang menggebu. Namun, terkadang Mbah Mardi melakukannya tanpa rembukan dengan orang rumah, langsung memutuskan sendiri. Hal itulah yang sering membuat Mbok Sum sedikit terusik, anyel.
“Mbok… panggil anakmu kemari, ada yang harus serius kita bicarakan,” pinta Mbah Mardi. Mbok Sum segera memanggil kedua anaknya.
“Nduk..le… ada yang mau bapak sampaikan. Dan ini sudah menjadi keputusanku dengan ibumu.”
Mbok Sum terkejut. Karena, seperti biasa, Mbah Mardi sebelumnya tidak rembukan dulu dengannya. Mbah Mardi melanjutkan, “Jadi gini, kemarin Pak Sam ke sini menceritakan tentang rencana pembangunan madrasah diniyah. Lalu …,” Mbah Mardi menjeda sejenak.