MENJELANG SUBUH YANG SUNYI
pada petang yang menyita sunyi
ringkih duka lalu melintas kembali dan ungkap
melalui lagu-lagu tahajjud di hati sajadah
sementara semesta memilih jalanku yang meski menyiksa kebebasan
kota yang akan bertandang warna
kusut milik para jalang
tikamku adalah cermin hatimu
tanpa mencederai kawan lain
di tubuh moksa
yang seharusnya membatin kuning cerlang di mata kita.
kini, subuh berhari-hari kucarik sajadah
sebagai munajat cintaku pada tahun sekali
untuk mempersunting pahala
dengan bibir demam
abjad yang terpampang mengamini nyata kepala
lewat dauh Abuya
Abuya, tarawih malam itu
Abuya, dan tahajjud hari itu
akhirnya, guguran daun memilihmu terbang mendekat.
Telang indah, 2024.
LAMUNAN MALAM
tabuh itu
bisa melawan kantuk dan pahala syukur itu nikmatnya bertengger riuh mewarnai kehidupan luas
peringai anak itu tumbuh kembang menuju guru ngaji
dan mereka berbondong-bondong mengikutinya
semua berucap kasih telah dipertemukan,
sedetik saja
aku ingin menangis karena telah bersua kembali bulan jagat berkah
“barangkali inilah tuhan menghadiahkan sebuah jalan sebelum pulang”
Telang indah, 2024.
RINDU DAN WAKTU
barangkali waktu lesat itu
adalah ibu menunggu kehadiranku
di balik nasi jagung menguning,
kuah daun kelor serupa rinduku padanya
ia meramunya selesai sholat ashar digelar
mak, biarpun aku mencebur di dalamnya, rindu terhunus satu-satu
; betapa pekatnya kehidupan di sana
biarpun aku menyatu dengan alam warnanya, karena aku yakin rasanya pasti berbeda
hanya doa segala tertinggal
kita bisa saja menghentikan rindu ini selesai