Persoalan haid selalu menempati posisi yang unik sekaligus rumit dalam khazanah fikih Islam. Ia adalah ranah hukum yang tidak hanya bersinggungan dengan norma agama, tetapi juga inheren dengan realitas biologis perempuan yang begitu personal dan variatif.
Kerumitan muncul tatkala kita mencoba merekonsiliasi antara formula yang dibakukan dalam teks-teks klasik dengan dinamika empiris yang dihadirkan oleh tubuh perempuan.

Secara definitif, fikih klasik—terutama dalam tradisi Syafi’iyyah—telah memasang pagar batasan yang tegas: minimal haid adalah satu hari satu malam (24 jam) dan maksimal lima belas hari. Darah yang keluar di luar rentang waktu ini secara otomatis digolongkan sebagai istihadhah (darah penyakit) dan tidak membebaskan perempuan dari kewajiban ritual ibadah.
Di sinilah letak tegangan antara ketetapan ulama dan realitas. Bagaimana kita menyikapi kasus seorang perempuan yang secara ajek (konsisten) mengalami pendarahan kurang dari 24 jam, atau sebaliknya, selalu melampaui batas 15 hari? Jika kita bersikukuh pada teks baku, darah tersebut bukanlah haid. Namun, bukankah bagi perempuan, pola pendarahan merupakan kebiasaan biologisnya?
Menjawabnya dengan dogma teks semata terasa kurang memuaskan. Batasan minimal dan maksimal yang kita warisi, sejatinya, adalah hasil ijtihad yang lahir dari observasi dan konteks zaman para ulama terdahulu. Imam Syafi’i, misalnya, merumuskan qawl jadid-nya dengan berpijak pada realitas perempuan di Mesir. Artinya, formula tersebut adalah produk sosio-biologis tertentu, bukan dogma yang absolut dan bebas konteks.
Jika dasar penetapan hukum adalah observasi, maka seharusnya observasi kontemporer dan realitas individual juga memiliki hak untuk didengarkan. Fikih, pada dasarnya, adalah upaya sistematisasi norma agar sejalan dengan tujuan syariat, bukan menciptakan kerangka kaku yang memaksa tubuh tunduk pada angka-angka mati.
Ketegangan ini ternyata telah diakui dan dibahas secara mendalam dalam tradisi fikih itu sendiri. Dalam Kitab Majmu’ (Syarh al-Muhadzdzab), kita menemukan adanya tiga pandangan utama yang menyoroti dialektika ini.