Asrul Sani adalah salah satu wajah paling berkilau yang pernah lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Dalam sejarah politik dan kebudayaan Indonesia, namanya tidak hadir sebagai gelombang yang menabrak, melainkan sebagai arus yang menengahi —mengalir di antara kutub ideologis yang saling menegasikan. Di antara suara-suara yang membentuk lanskap batin Indonesia merdeka, Asrul Sani hadir mula-mula sebagai penyair muda Angkatan ‘45 —terutama bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin— menyuarakan kemerdekaan bukan hanya sebagai peristiwa politik, tetapi sebagai ledakan kesadaran manusia.

Bersama seniman segenerasinya, dia membentuk Gelanggang Seniman Merdeka, komunitas seniman yang merupakan sebuah persekutuan kesadaran yang tidak hanya lahir dari kebutuhan berkesenian, melainkan terutama dari pergolakan roh dan pikiran yang menolak keterbelengguan. Mereka bukan sekadar ingin menulis puisi atau melukis alam, melainkan hendak mencipta manusia Indonesia yang hidup: manusia yang berpikir dengan kepala sendiri, merasa dengan kulit sendiri, dan berdiri dengan kaki sendiri di tanah yang baru saja merebut kemerdekaan. Dari ruang-ruang diskusi yang sempit dan penuh asap rokok, mereka menyalakan api kesadaran: kebebasan sejati bukan hadiah politik. Ia lahir dari pergulatan batin yang terus-menerus dengan tradisi, sejarah, dan masa depan.


 
							 
  
  
  
  
 