- Merenungkan Bias Kolonial dalam Tubuh Kita
Banten adalah marâh labîd, ‘tempat istirahat bagi burung-burung yang datang dan pergi’. Marâh Labîd adalah judul tafsir 30 juz Al-Quran berbahasa Arab karya Syekh Nawawi Banten. Sejak akhir abad ke-19 hingga sekarang, kitab itu diterbitkan oleh penerbit-penerbit Timur Tengah —tentu juga penerbit Indonesia.

Meneruskan jejak Syekh Nawawi, kita dapat membaca Banten sebagai “tempat istirahat bagi burung-burung yang datang dan pergi”, di mana gagasan dan ruh zaman hinggap, beristirahat sejenak, lalu terbang kembali membawa pesan-pesan baru. Di dalam metafora itu, Banten tampak bukan sekadar wilayah geografis, melainkan ruang kultural yang menampung, merawat, sekaligus mengantarkan energi rohani dan intelektual ke laut lepas.

Dan kini, di dermaga Banten, dentang dua lonceng terdengar lantang dengan tinggi nada berbeda, juga dari arah berbeda. Laut Banten tahu bahwa dentang lonceng yang satu berasal dari Makkah, yang lain dari Belanda.
Namun sejarah seringkali mendengar salah satu dentang itu lebih jelas, sementara yang lain dibiarkan bergema dalam sunyi, distorsi yang justru menelanjangi bias kolonial dalam ingatan kita. Di antara riak-riak gelombangnya, Syekh Nawawi dan Multatuli adalah dentang lonceng abad ke-19, yang terdengar saling bersahutan di abad ke-21 kini. Percakapan imajiner mereka adalah warisan yang belum selesai, sebuah undangan untuk tak hanya mendengar, tetapi juga mempertanyakan: mengapa satu suara dikenang dengan megah, sementara yang lain harus kita gali dari lapisan debu sejarah?
