Ketekunannya belajar mengaji mengantar Abuya Nawi menjadi salah satu ulama paling kharismatik di Tanah Betawi. Gaya dakwahnya yang santun, teduh, dan selalu mengajak pada kebaikan membuatnya diterima di semua kalangan masyarakat. Itulah sosok pendiri Pondok Pesantren Al-Awwabin.
Nama aslinya adalah KH Abdurrahman Nawi, biasa disapa dengan panggilan Buya Nawi atau Abuya Nawi. Dilahirkan pada 8 Desember 1920 dan wafat pada 18 November 2019. Yang unik dari kisahnya, Abuya Nawi tak pernah mondok di pesantren, namun pesantren yang didirikannya, Al-Awwabin, kini ada di Tebat, Jakarta Selatan dan Sawangan serta Bedahan, keduanya di Depok, Jawa Barat.

Namun, meskipun tak pernah mondok secara harfiah, Abuya Nawi ternyata berguru kepada berbagai ulama di banyak tempat. Meskipun tak dilahirkan dari keturunan tokoh agama, tapi sejak kecil memang dididik untuk rajin salat dan mengaji.
Kali pertama Abuya Nawi belajar mengaji kepada seorang guru di Tebet, yaitu Muallim Ghazali dan Muallim Syarbini. Di sini Abuya Nawi belajar membaca al-Quran serta dasar-dasar akidah dan praktik ibadah. Setelah itu, di daerah di Bukit Duri, ia berguru kepada KH Muhammad Yunus, KH Basri Hamdani, KH M Ramli, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf.
Seiring perjalanan waktu, Abuya Nawi berkembang menjadi pembelajar kelana. Hampir semua kiai dan ulama didatanginya untuk mencari ilmu dan berkahnya. Tercatat, ia juga pernah berguru kepada KH Muh Zain (Kebon Kelapa, Tebet), KH Abdullah Syafi’i (Matraman), KH Hasbiyallah (Klender), KH Mu’allim (Cipete), KH Khalid (Pulo Gadung), Habib Ali Jamalullail dan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Abdullah bin Salim Al-Attas (Kebon Nanas), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad (Kramat Jati), Habib Ali bin Husein Al-Attas (Kemayoran), Habib Zein bin Smith, dan Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hassani (Mekkah).
Meskipun tak mondok di pesantren, cara belajar dan ngaji Abuya Nawi laiknya santri kalong. Bahkan, dalam sehari ia bisa belajar mengaji di tiga tempat sekaligus, masing-masing mempelajari dua atau tiga kitab. Abuya Nawi selalu dalam gairah tinggi saat belajar, tak mau kalah dengan para santri. Setiap penjelasan dari para gurunya, misalnya, selalu disimak dan dicatat dengan baik.