Menurut satu riwayat, pada abad ke-16, Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan yang bermukim di Kudus untuk mendakwahkan Islam, melarang keluarga dan jemaahnya untuk menyembelih sapi saat berkurban pada Hari Raya Kurban. Padahal, sapi menjadi pilihan utama bagi muslim yang hendak menyembelih hewan kurban. Sebagai gantinya, Sayyid Ja’far Shadiq menganjurkan untuk berkurban dengan hewan lain, seperti kerbau atau kambing. Tak perlu sapi.
Kudus di zaman itu, seperti wilayah lain di Pulau Jawa pada umumnya, lebih banyak dihuni oleh masyarakat yang masih memeluk kepercayaan Hindu. Hindu juga menjadi agama resmi yang dianut oleh banyak kerajaan di wilayah Nusantara selama berabad-abad lamanya. Hindu telah dianut oleh masyarakat Jawa —juga Nusantara.
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai reinkarnasi dewa Krisna. Sebagai titisan dewa, sapi dipercaya sebagai hewan suci dan karena itu dihormati dan dipuja oleh segenap penganutnya. Maka, tak ada orang Hindu yang berani memotong leher sapi —karena akan sama halnya dengan membunuh dewanya.
Kenyataan itulah yang ada di depan mata saat Sayyid Ja’far Shadiq mendakwahkan ajaran Nabi yang dibawanya ke Kudus, termasuk ajaran menyembelih hewan kurban sebagai bagian dari peribadatan. Maka, Sayyid Ja’far Shadiq yang kemudian kita kenal sebagai Sunan Kudus, itu meminta keluarga dan jemaahnya untuk tidak menyembelih sapi saat Idul Kurban. Dipilihlah kerbau atau kambing sebagai gantinya. Hingga saat ini, tradisi penyembelihan kerbau saat Idul Kurban masih hidup di masyarakat Kudus.
Larangan menyembelih sapi yang dikeluarkan Sunan Kudus didasari dua hal. Pertama, untuk menghormati kepercayaan masyarakat Kudus yang beragama Hindu. Kedua, menjaga perasaan, ikatan sosial, dan persaudaraan sesama masyarakat. Tak lagi menyembelih sapi dan menggantinya dengan kerbau saat berkuban tak melanggar perintah Tuhan. Tapi jika ngotot menyembelih sapi namun menyakiti hati orang lain, belum tentu juga ibadahnya diterima Tuhan.
Jika saat itu yang muslim tetap menyembelih sapi, tidak tertutup kemungkinan yang pemeluk Hindu akan sakit hati karena merasa kepercayaannya dilecehkan. Titisan dewanya dibunuh. Percikan ini bisa memantik api ketegangan dan pertikaian sosial. Bayangkan jika itu terjadi hari-hari ini… bisa jadi justru yang percaya bahwa sapi merupakan hewan suci yang akan disembelih, bukan lagi hewannya.
Dari riwayat Sunan Kudus itu kita tahu, bahkan beribadah pun, menjalankan perintah agama pun, tak boleh mengesampingkan akhlak. Empati dan toleransi terhadap sesama manusia adalah bagian dari apa yang sesungguhnya kita maksudkan sebagai akhlak. Dan inilah tugas kenabian yang sesungguhnya: menyempurnakan akhlak manusia.
Jika merujuk pada riwayat Sunan Kudus itu, kita tahu dalam banyak peristiwa, banyak orang menjalankan perintah agama tapi dengan mengesampingkan akhlak. Beragama tapi tak berakhlak. Misalnya, salat berjamaah di tengah jalan atau menggelar pengajian dengan menutup akses publik. Mentang-mentang sedang menyembah Tuhan, hak-hak publik dilecehkan. Seakan-akan, ketika kita sedang berurusan dengan Tuhan, sedang mengibar-ngibarkan bendera suci agama, urusan orang lain harus dikesampingkan. Tak ada empati. Tak ada toleransi. Tak ada tertib publik.
Itulah yang oleh Gus Mus —KH Mustofa Bisri— disebut “mengajak orang ke surga, tapi yang ditempuh justru jalan ke neraka.”
Ketika orang beragama tapi tak berakhlak, itulah yang terjadi.