Ini malam yang sempurna. Bulan bulat penuh. Langit bersih bagai sebuah kain berwarna kelabu. Bahkan kumpulan embun yang terbang di langit malam ini tak berani mengganggu. Ini malam yang paripurna. Suhu udara berada padi titik paling nyaman. Para angin juga mengerti itu, dan embusannya juga tak terlalu.
“Semoga ketenangan ini bertahan selamanya,” ucap Castro dalam hati di sebuah sela kecil di antara rumahnya dengan rumah Mika.
Meskipun dia sadar doanya mungkin mustahil diijabah. Namun, dalam benaknya ia berpikir memang apa salahnya dengan sebuah doa. Bahkan para penjahat juga pandai berdoa. Paling banyak mungkin mereka ingin agar usaha jahatnya dilancarkan. Yang mencuri bisa dapat hasil banyak. Yang menipu berharap tak ketahuan. Dan yang tertangkap karena kelakuannya berharap tak dihajar masa. Terlebih, jika memang dipenjara, berharap dapat potongan masa tahanan tiap tahunnya. Meski kadang dia tak tahu doa para penjahat dipanjatkan kepada siapa. Karena, yang dia tahu, Tuhan lebih banyak mengabulkan doa orang-orang baik. Tapi hal itu kadang tak sinkron dengan dunia yang semakin buruk ini.
Ah, sekarang sedang malam ke-15. Castro selalu datang ke cepitan rumah itu untuk melihat kekasih Bumi yang paling setia: bulan. Dia akan dengan setia membawa tab pemberian kakaknya. Lalu menuliskan berbagai hal di sana. Dalam catatan di sebuah aplikasi digital, dia akan menuliskan berbagai hal. Terlebih lagi imajinasinya.
“Castro, kamu di sana?” terdengar suara tanya dari sebuah jendela terbuka yang menghadap langsung ke cepitan rumah itu.
“He-em,” pemuda itu hanya menjawab singkat.
“Iihh, pasti dicuekin nih.”
Pemuda itu masih diam.
Tatap matanya sedang asik pada gawai lebar itu. Jemarinya tak berhenti mengetuk layar sampai otaknya buntu. Dan ketika itu, terjadi dia akan menatap bulan yang tepat berada di atasnya. Kepalanya akan mendongak 45 derajat menuju langit. Lalu, saat telah mendapat kelanjutan cerita, baru dia akan sibuk lagi dengan gawainya. Sementara, di jendela terbuka itu ada dua bola mata seorang gadis jelita masih setia menatapnya. Tapi tetap saja Castro khusyu pada tulisannya.