Kenangan bagi Jalu adalah serupa paku-paku yang ditusukkan paksa ke sekujur dedaging dan telulangnya yang kurus kerempeng. Menyakiti dan membikin infeksi. Namun sebagaimana paku-paku yang mematri kayu-kayu menjadi perkakas, apalah itu meja, kursi atau lemari, maka bagi Jalu paku-paku kenangan itupun adalah yang merekatkan dirinya membentuk Jalu yang sekarang. Melepaskan paku-paku adalah sama merusak perkakas. Meja, kursi, dan lemari tidaklah lagi meja, kursi, dan lemari tanpa paku-paku. Mereka adalah serangkaian kayu-kayu saja. Tanpa kenangan-kenangan itu, barangkali, Jalu pun tidak akan pernah ada.
Di pagi dini hari, bahkan ketika jam belum sampai menunjuk sempurna ke pukul dua tepat, Jalu terbangun dengan hantu di kepalanya. Mimpi-mimpi yang menemaninya sejak dia mulai bisa mengingat. Api menjilat melumat habis rumahnya. Bapaknya yang tertimpa saka rumahnya. Ibunya yang gosong dengan mukena membungkus tubuhnya. Adik-adiknya yang berteriak sia-sia ketika api sudah membakar separo tubuh mereka. Juga ia, yang tertidur antara sadar dan tidak dalam pelukan kakak perempuannya yang menggosongkan diri demi ia bisa hidup sampai detik ini. Detail itu selalu tergambar sangat jelas dalam setiap mimpinya. Dan di pengujung mimpinya, Jalu tersengal-sengal.
Ia menengok jam kecil di samping bantalnya. Selalu jam dua pagi yang bahkan belum sempurna, karena jarum jam panjangnya bahkan belum melewati angka sepuluh. Jalu menyibakkan selimut lusuhnya, bangkit dan mengenakan sarungnya. Teman-teman sekamarnya terlihat masih pulas, bahkan ketika kereret suara pintu berderit terdengar begitu Jalu membuka pintu. Jalu melawan dingin, berjalan menuju surau di tengah pesantren. Ia mengambil wudlu, sholat empat rakaat dan membaca al-Mulk, surat yang selalu ia dengar dalam mimpi-mimpinya tentang ibunya, sebelum api menjilat habis seisi rumahnya. Jalu menangis terisak-isak, dengan bayangan keluarganya yang kini tiada. Semakin membaca, semakin serak, semakin terisak-isak. Ibunya, dan wajah keluarganya semata yang membayang di pelupuk mata. Dan bersahut-sahutan dengan suaranya membaca al-Mulk, ada suara ibunya.
Di pintu surau, Kiai Soleh mengusap ujung matanya yang basah. Beliau telah menyaksikan pagi yang sama, pagi di mana Jalu menangis, sejak belasan tahun yang silam, ketika Jalu pertama-tama menjadi bagian dari pesantren ini. Ketika Jalu bahkan belum fasih mengeja a–ba–ta–tsa. Ketika Jalu bahkan belum mengenali ingatannya tentang surat al-Mulk yang dulu selalu dibaca ibunya di setiap dini hari yang penuh gigil. Kiai Soleh-lah yang melihat dan menyaksikan, dengan begitu dekat, rasa kehilangan yang dialami Jalu.