Beberapa waktu terakhir, dunia maya diguncang oleh sosok yang viral di jagat santri: Gus El. Videonya tersebar di mana-mana, komentarnya dibicarakan, dan namanya melesat cepat—bukan karena karya ilmiah atau kedalaman kajian, tapi karena keberanian tampil di ruang publik yang lapar akan sensasi dan viralitas.
Fenomena ini menegaskan satu hal: di era algoritma, ketenaran tidak lagi lahir dari kedalaman, melainkan dari keberanian tampil. Dan seperti biasa, masyarakat pun terbagi: sebagian memuja dengan fanatik, sebagian lain menghujat dengan beringas. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, ada sesuatu yang jauh lebih penting untuk direnungkan: apa sebenarnya makna menjadi tenar di zaman yang kehilangan keheningan?

Ketika Nama Menjadi Komoditas
Dulu, gelar “Gus”, “Neng”, “Kiai”, “Lora”, “Nyai”, “Habib”, “Syarif”, atau “Ustaz” lahir dari proses panjang. Ia ditempa oleh ilmu, adab, dan pengabdian. Kini, dalam dunia yang diatur oleh engagement rate, label itu bisa muncul hanya karena jumlah followers atau ketepatan waktu unggah konten.
Media sosial mengubah otoritas agama menjadi performa digital. Ceramah berubah menjadi tontonan, dakwah menjadi branding, dan kesalehan berubah menjadi konten. Yang dihargai bukan lagi hikmah, tapi gaya; bukan kedalaman, tapi resonansi.
Padahal dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu selalu lahir dari tazkiyah an-nafs—penjernihan jiwa, bukan dari kalkulasi impresi. Ketika agama masuk ke pasar atensi, ia kehilangan gravitasinya dan berubah menjadi hiburan spiritual: ringan, cepat viral, tapi dangkal.
Menanam Diri di Tanah Sunyi
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam pernah menulis kalimat yang menohok setiap pencari ketenaran:
اِدْفِنْ وُجُودَكَ فِي أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَاجُهُ
Artinya: “Tanamlah keberadaanmu di tanah ketidakterkenalan, sebab sesuatu yang tumbuh tanpa tertanam, tak akan sempurna buahnya.”
Kalimat ini seolah berbicara langsung pada kita hari ini. Dunia digital mendorong setiap orang untuk menampakkan diri, berlomba muncul di layar, seakan yang tidak terlihat itu tidak ada. Padahal, menurut para sufi, justru yang tersembunyi itulah yang tumbuh paling subur.
