Mbah Dayat terkulai, tergeletak di kasur kapuk dengan dipan reyotnya. Napasnya kembang-kempis, berembus pun sudah jarang-jarang. Tubuhnya layu, berbalut tulang dengan daging yang sudah tipis. Ubannya sudah penuh, tumbuh rapuh meski tinggal beberapa helai di sudut-sudut kepalanya. Umurnya sembilan puluh tahun lebih, perkiraan dari para tetangga-tetangga sekitar. Maka, tak heran Mbah Dayat sudah pantas untuk menghadap kepada Sang Pemberi Nyawa.
Kedua tangan dan kakinya sudah tidak bisa digerakkan. Lumpuh dan mengecil, hanya seukuran bilah bambu. Perutnya sudah mundur ke belakang, membentuk lubang pertanda ususnya sudah lama tidak menyimpan makanan. Matanya selalu tertutup, kadang berair, entah itu air mata atau apa. Tiba-tiba mengalir saja di sela pojok matanya.
Mulut Mbah Dayat tertutup separo, sering air liurnya tanpa kendali menetes. Dadanya membentuk goretan-goretan tulang rusuk yang tampak sekali terlihat. Pipinya kempong seperti lekuk tanah melandai. Guratan-guratan usia terlipat dalam lekukan-lekukan di dahinya. Mbah Dayat hidup, tapi tidak seperti hidup. Meninggal? Belum. Hanya sepertinya sudah bersiap meninggalkan jasad berpisah dengan ruhnya.
Kedua anaknya bergantian menjaga Mbah Dayat. Menjaga bergantian, untuk njagani kalau tiba-tiba Mbah Dayat meninggal tanpa diketahui. Sudah satu bulan, Mbah Dayat dengan kondisi seperti itu. Tergeletak tanpa daya. Koma!
***
Mbah Dayat adalah rujukan tetua kampung. Tetua karena sudah tua, sepuh. Paling tua! Namun jiwa petaninya tidak tergoyah, tak tergulung termakan usia. Mbah Dayat orang yang tekun, masih terjun sendiri ke sawah untuk membuat petak-petak, menyiangi rumput, menyemai, sampai tiba senyum masa panen padi tiba.
Namun, kemarau tahun ini sulit diajak kompromi. Sampai jelang Desember pun hujan di kampung enggan mampir untuk sekadar bertamu. Sawah Mbah Dayat, begitu juga sawah-sawah lain di kampung, tampak tanahnya pecah-pecah, mlethek-mlethek saking keringnya. Memang, sesekali gerimis palsu sudah turun, tetapi hujan lebat belum ingin mencurahkan kesegarannya. Sungai-sungai di dekat sawah yang biasanya dialirkan bergantian ke terasiring-terasiring sawah di sampingnya, belum ada air sedikitpun yang menggenang untuk mengaliri.