Tradisi pendidikan Islam muncul seirama dengan proses Islamisasi di Nusantara itu sendiri. Bahkan, pendidikan memiliki peran vital dalam penyebaran agama Islam di Indonesia melalui transmisi ilmu dan pengetahuan.
Pada abad ke-19, pendidikan Islam di Indonesia belum mengenal sistem pendidikan modern. Sistem pendidikan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional dan individual, yang disebut “lembaga pendidikan asli”, yaitu lembaga pendidikan yang terpusat pada masjid, langgar, atau surau (Huda, 2015, 297).

Nor Huda dalam bukunya yang berjudul Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, menyebutkan, “kemudian lembaga-lembaga seperti masjid, langgar dan surau tersebut dimanfaatkan untuk mengajarkan baca tulis Al-Qur’an yang kemudian tempat tersebut oleh orang Jawa disebut sebagai nggon ngaji.”
Sistem pengajaran nggon ngaji, atau tempat belajar, berjalan secara bergilir. Setiap murid maju satu per satu untuk membaca Al-Qur’an yang di simak langsung oleh kiai atau guru ngaji. Murid yang lebih cepat memahami dan membaca Al-Qur’an dengan fasih dan lancar dapat menyelesaikan pengajaran dengan cepat. Sedangkan, murid yang kurang pandai akan mendapat bimbingan yang lebih lama.
Sistem pengajaran seperti ini akan menciptakan interaksi personal antara guru dan murid, serta guru dapat memantau perkembangan murid secara langsung (Dhofier, 2011, 45). Namun, metode pengajaran seperti ini cenderung memakan waktu lebih lama dan tenaga lebih ekstra.
Pada umumnya, setelah murid memastikan telah membaca Al-Qur’an sampai selesai (membaca di sini mempunyai pengertian melafalkan, karena dalam fase ini belum diajarkan mengenai makna dari isi Al-Qur’an), akan diadakan acara tamatan atau juga disebut khataman. Acara ini dilengkapi dengan sunatan atau khitanan bagi anak laki-laki dan merupakan tonggak awal dalam kehidupan agama Islam. Karena dalam tradisi yang berlaku anak laki-laki yang telah disunat umumnya dianggap telah mencapai fase usia akil-baligh dan diwajibkan untuk melaksanakan ibadah seperti salat, puasa, dan sebagainya (Steenbrink, 1994, 12).
Pesantren
Pada fase berikutnya, murid yang telah menyelesaikan pendidikan di lembaga nggon ngaji atau yang telah khatam membaca Al-Qur’an umumnya akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu di pondok pesantren.
Zamakhsyari Dhofier menduga bahwa istilah “pondok” berasal dari pengertian asrama-asrama yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal para santri. Istilah “pondok” berasal dari bahasa Arab funduq, yang artinya hotel atau tempat menginap.
Sementara itu, istilah “pesantren” itu sendiri berasal dari kata dasar santri yang mendapat imbuhan pe+an (pe+santri+an=pesantren)”. Jadi, pesantren adalah tempat tinggal santri (Huda, 2015, 304).
Sedangkan, istilah santri, menurut Gus Mus, adalah siswa atau murid yang mengaji dengan seorang kiai agar menjadi muslim dan mukmin yang kuat serta tidak terpengaruh oleh kepentingan, pergaulan, dan perbedaan.
Yang dimaksud pesantren dalam tulisan ini adalah suatu lembaga pendidikan Islam (tradisional), yang berfokus pada pengembangan ilmu agama serta pembelajaran, pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama Islam dan menekankan pentingnya akhlakul karimah sebagai pedoman perilaku sehari-hari (Mastuhu, 1994, 55). Ciri khas dari pendidikan Islam tradisional adalah pesantren yang diasuh oleh seorang kiai yang memiliki kharisma serta kepribadian yang santun dan disegani (Bruinessen, 2012, 74). Jenis pesantren semacam ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pesantren salaf dan pesantren khalaf (Huda, 2015, 306).
Lingkungan pesantren pada umumnya terdiri atas ndalem (rumah kiai), masjid jika digunakan untuk salat Jumat dan musala atau langgar jika tidak digunakan salat Jumat, juga terdiri atas ruang tidur, ruang belajar, ruang untuk memasak, kolam atau ruang untuk mandi dan berwudhu. Mayoritas santri menetap di pesantren sepanjang hari dan hanya keluar jika ada keperluan untuk pergi ke pasar ataupun bekerja untuk membantu warga. (Steenbrink, 1994,15).
Kiai merupakan figur yang paling penting dalam dunia pesantren. Kiai sebagai pengasuh pesantren merupakan faktor yang sangat menentukan perkembangan maju atau mundurnya sebuah pesantren.
Menurut tradisi pesantren, kecerdasan seorang kiai diukur dengan seberapa banyak kiai tersebut telah membaca dan mempelajari kitab dan kepada ulama mana ia berguru (Huda, 2015,307). Semakin besar nama guru seorang kiai, maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap para santri dan masyarakat.
Walaupun secara hierarkis kiai menempati posisi tertinggi dalam sebuah pesantren, akan tetapi dalam relasi kuasa, menurut Foucault, kiai bukan pemegang otoritas mutlak. Relasi kuasa dalam pesantren juga terdistribusi dalam berbagai mekanisme disiplin, melalui jadwal harian santri, misalnya. Dari bangun sebelum subuh, salat berjamaah, pengajian kitab kuning, kelas formal, hafalan, hingga mujahadah malam, aktivitas santri diatur dalam sebuah sistem rutinitas yang ketat. Selain itu, sesama santri juga terlibat dalam pengawasan horizontal yang bertujuan untuk mengatur santri lainya agar sesuai dengan rule yang ada.
Sistem pendidikan dalam pesantren belum mengenal pembagian kelas-kelas. Para santri dikategorikan dalam tiga tingkatan. Pada tingkatan pertama, santri diajarkan mengenai kitab-kitab sederhana baik sebagai isi ataupun bahasanya. Tingkatan kedua diajarkan mengenai ilmu alat, seperti nahu, saraf, dan ilmu bahasa Arab yang lain. Pada tingkatan ketiga atau tingkatan tertinggi, para santri diajarkan ilmu-ilmu seperti fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, ilmu kalam, dan tasawuf, sehingga mereka memiliki keahlian dalam bidang keilmuan tersebut.
Pengajaran dalam pesantren dilakukan melalui dua metode, yaitu sorogan (individual) dan bandongan (kolektif). Metode pertama dilakukan dengan cara santri menghadap kepada kiai yang akan membacakan beberapa baris dari ayat Al-Qur’an atau kitab kuning yang diterjemahkan dalam bahasa lokal, kemudian santri mengulanginya demi kata perkata sama seperti yang dilakukan seorang kiai. Metode ini cukup efektif untuk menunjang pemahaman santri pemula, karena sang kiai dapat memantau dan memberikan bimbingan secara langsung. Pada dasarnya hanya santri yang telah menguasai metode sorogan sajalah yang akan merasakan keuntungan dalam metode bandongan.
Yang kedua adalah metode bandongan. Dalam metode ini, santri mendengarkan seorang kiai yang membacakan, menerjemahkan, dan menjelaskan kitab-kitab kuning. Dalam metode ini para santri tidak harus menunjukkan bahwa dirinya paham dengan apa yang disampaikan oleh sang kiai. Oleh karena itu, metode ini cocok digunakan untuk tingkatan menengah dan tingkatan tinggi saja (Huda, 2015,310).
Sekolah Belanda
Masuknya pemerintahan kolonial Belanda tidak hanya membawa perubahan pada aspek sosial, politik, dan ekonomi, melainkan dalam hal pendidikan juga. Pendidikan kolonial ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam tradisional. Tidak hanya dalam segi sistem dan metodenya, tetapi lebih khusus pada tujuan dan orientasinya.
Pendidikan yang dikelola pemerintah kolonial ini jelas berorientasi pada pengetahuan umum yang sifatnya duniawi. Sedangkan, pendidikan Islam tradisional lebih berfokus pada pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pendidikan dibentuk secara hierarkis dan diskriminatif, di mana jenis sekolah dibedakan berdasarkan ras dan kelas sosial. Pemerintah kolonial hanya memberikan akses pendidikan kepada kalangan tertentu yang dianggap “layak” untuk mendukung kepentingan administrasi kolonial.
Europeesche Lagere School (ELS), misalnya, merupakan sekolah dasar yang ditujukan khusus bagi anak-anak Eropa. Kurikulumnya mengikuti sistem pendidikan Belanda di negeri asalnya, dengan standar tinggi dan berbasis ilmu pengetahuan Barat (Poerbakawatja dan Harsojo 1976, 97).
Sementara itu, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dibuka untuk anak-anak pribumi terpilih, terutama dari kalangan bangsawan, pegawai negeri, atau keluarga priyayi. Sekolah ini merupakan bentuk pendidikan modern pertama yang dirancang khusus untuk kalangan pribumi, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar utama. HIS menjadi alat politik etis Belanda untuk membentuk elite terdidik yang loyal pada pemerintahan kolonial, namun pada saat yang sama menciptakan kesenjangan akses pendidikan antara kalangan elit dan rakyat biasa (Steenbrink 1994, 24).
Di samping HIS, terdapat juga “sekolah desa” yang merupakan bentuk sekolah dasar yang terdiri dari tiga tahun pelajaran. Pengajarannya menggunakan bahasa Indonesia. Lulusan sekolah ini dapat melanjutkan ke Standaardschool. Tapi lulusan sekolah ini belum memenuhi syarat untuk melanjutkan ke sekolah menengah. Kebanyakan lulusan dari sekolah ini menjadi guru di lembaga pendidikan Islam, sekaligus mengenalkan sistem pengajaran barat pada dunia pendidikan Islam Indonesia
Madrasah: Hibridisasi Sistem Pendidikan
Masuknya pendidikan Barat melalui sekolah-sekolah Belanda mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Pemerintah kolonial mendirikan sekolah modern dengan kurikulum sekuler dan bahasa pengantar Belanda atau Melayu. Hal ini memicu respons dari kalangan pesantren. Mereka merasa perlu menghadirkan lembaga yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu umum seperti matematika, bahasa Belanda, geografi, dan sebagainya. Inilah yang mendorong lahirnya madrasah, sebuah bentuk pendidikan Islam yang memadukan sistem pesantren (penguatan agama) dan sistem sekolah Barat (struktur kurikulum, kelas, jenjang, dan evaluasi).
Menurut Azyumardi Azra, madrasah merupakan bentuk ijtihad pendidikan yang kreatif dalam menghadapi tantangan modernitas dan kolonialisme. Sementara itu, Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai bentuk kompromi yang progresif antara dunia tradisi dan modernitas.
Kesimpulan
Transformasi pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana dipaparkan dalam tulisan ini, sejatinya mencerminkan proses dialektika historis sebagaimana dirumuskan oleh filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Dalam kerangka Hegelian, sejarah bergerak melalui tiga tahap: tesis, antitesis, dan sintesis.
Tesis diwakili oleh sistem pendidikan Islam tradisional seperti nggon ngaji dan pesantren yang berbasis lokal, berbentuk non-formal, dan bersumber dari tradisi keislaman yang kuat.
Sementara itu, antitesis muncul ketika sistem pendidikan kolonial Belanda diperkenalkan. Sistem ini membawa struktur, disiplin ilmu Barat, dan orientasi duniawi yang sangat berbeda dari sistem tradisional.
Ketegangan antara keduanya mendorong lahirnya sintesis, berupa madrasah lembaga pendidikan Islam yang menggabungkan nilai-nilai keagamaan dari pesantren dengan struktur kurikulum dan manajemen pendidikan modern dari sekolah Barat.
Dengan demikian, madrasah bukan sekadar hasil adaptasi teknis, tetapi merupakan produk dari dialektika sejarah: sebuah bentuk ijtihad sosial yang muncul dari pertarungan dan pertemuan dua sistem pendidikan yang berseberangan.
Maka, lahirnya madrasah dapat dipahami sebagai bentuk sintesis kreatif penyatuan antara tradisi dan modernitas dalam satu entitas pendidikan yang khas Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan Islam tidak bersifat statis, tetapi terus bergerak, bertransformasi, dan menjawab tantangan zaman. Ini merupakan sebuah bukti bahwa dialektika sejarah adalah kekuatan utama dalam dinamika peradaban Islam di Nusantara.
