Manusia dan Agama di Persimpangan

Di dunia yang semakin sibuk dengan klaim kebenaran, satu pertanyaan sederhana sering luput dari perhatian: untuk apa sebenarnya agama ada?

Pertanyaan ini menggelitik. Sebab, dari ribuan tahun sejarah manusia, agama selalu hadir dengan wajah yang beragam. Ia menyapa dalam lantunan doa di masjid, gereja, pura, vihara, kuil, atau bahkan di tengah hutan, saat orang-orang adat menyalakan dupa bagi leluhur. Lalu muncul ironi: bukannya melahirkan kedamaian, agama justru sering memicu pertikaian.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Seolah-olah semakin banyak agama, semakin besar pula kemungkinan manusia terpecah. Benarkah begitu?

Bila kita mau jujur, agama adalah cermin. Ia memantulkan wajah kita, lengkap dengan kelemahan dan kebijaksanaan. Dalam ajaran yang luhur, manusia diajak menghormati hidup, menjaga sesama, dan merawat alam. Tapi dalam tangan yang serakah, agama berubah jadi senjata.

Itulah sebabnya, perang sering dimulai bukan karena agama, tapi karena ambisi manusia yang membungkus kepentingannya dengan simbol agama. Seperti pedang bermata dua, agama bisa menjadi jalan penyembuh atau alat penghancur.

Di titik ini, pertanyaannya bergeser: apakah kita sungguh-sungguh memahami agama, atau sekadar memakainya?

Kita terbiasa diajarkan toleransi. Kata yang indah, tapi sering dangkal. Toleransi bisa berarti: aku biarkan kamu ada, asal jangan ganggu aku. Hubungan seperti ini rapuh. Cukup satu provokasi, toleransi runtuh.

Yang lebih dibutuhkan hari ini adalah rasa bersama. Bahwa perbedaan bukan sekadar ditoleransi, melainkan dirayakan sebagai kekayaan. Bahwa orang lain yang berbeda iman bukan musuh, tapi sesama penghuni bumi yang punya keresahan sama takut kehilangan pekerjaan, cemas soal masa depan anak, khawatir terhadap bencana alam.

Saat kita berani mengakui rasa bersama itu, sekat agama menjadi cair. Kita bisa duduk dalam meja yang sama, bukan untuk membicarakan siapa yang benar, tapi bagaimana bersama-sama bertahan sebagai manusia.

Agama, bila dijalankan secara tulus, selalu memihak pada manusia yang paling rentan. Sejarah mencatat, hampir semua pendiri agama besar berdiri di pihak orang miskin, tertindas, dan tidak bersuara.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan