Di pesantren, bulan Ramadan bukan hanya menjadi waktu untuk meningkatkan ibadah, tetapi juga momen istimewa untuk memperdalam ilmu agama. Salah satu tradisi yang sudah mengakar adalah ngaji pasanan, yaitu kajian kitab kuning secara intensif selama bulan puasa.
Santri dari berbagai daerah berkumpul di pesantren untuk mengikuti pengajian yang berlangsung dari subuh hingga malam hari. Kitab yang dikaji pun beragam, mulai dari fikih, tafsir, akhlak, hingga tasawuf. Kitab-kitab karya ulama besar seperti Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, Fathul Mu’in dalam ilmu fikih, atau Al-Hikam dalam bidang tasawuf sering menjadi rujukan utama.

Dalam konteks ini, membayangkan kitab-kitab Ibnu Rusyd dikaji di pesantren saat Ramadan bisa menjadi wacana yang menarik. Santri yang sudah terbiasa dengan kitab fikih dan tasawuf bisa diperkenalkan dengan pemikiran Ibnu Rusyd yang lebih filosofis. Ini bisa menjadi tambahan wawasan yang memperkaya diskusi, terutama dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu.
Jika tradisi ngaji pasanan tetap mempertahankan kitab-kitab klasik yang sudah umum dikaji, tetapi sekaligus membuka ruang bagi pemikiran Ibnu Rusyd, maka pesantren akan semakin berkembang menjadi pusat keilmuan yang tidak hanya tekstual, tetapi juga rasional. Ini bisa menjadi langkah maju bagi dunia pesantren dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Al-Ghazali vs Ibn Rusyd
Pesantren memiliki peran penting dalam menjaga dan mengembangkan tradisi keilmuan Islam. Sejak ratusan tahun, pesantren telah menjadi pusat pembelajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang ditulis oleh ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Imam Nawawi, dan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dari sekian banyak kitab yang diajarkan, karya-karya Al-Ghazali memiliki tempat yang istimewa.
Namun, bagaimana jika kitab-kitab Ibnu Rusyd juga mendapatkan perhatian yang sama di pesantren? Ibnu Rusyd, seorang ulama dari Andalusia, mengambil pendekatan yang berbeda. Dalam bukunya Tahafut at-Tahafut, ia membantah argumen Al-Ghazali dan membela filsafat Aristotelian sebagai bagian dari Islam. Ia berpendapat bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Sayangnya, pemikiran Ibnu Rusyd lebih banyak dipelajari di Barat daripada di dunia Islam sendiri.