Selesai lulus dari Madrasah Aliyah, aku dan Gus Parit, atas inisiasinya, mendaftar di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang, Jawa Timur. Kami mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Gus Parit pun tetap pada karakteristiknya, tertawa dan belajar menertawakan hidup. Kami ngekos dengan lima orang dari rantau. Pengalaman hidup selalu berkesan jika dekat dengan Gus Parit. Selalu berserempetan dengan tawa. Allah memang Maha Adil. Menciptakan manusia bernama Parit untuk membuat orang yang dekat bisa tertawa. Subhanallah.
Masuk kuliah pertama Parit sudah membuat gaduh. Saat dosen bertanya, “Muhammad Parit Lukito?”
“Hadir, Pak!” Parit menjawab panggilan dosen.
“Benar ejaannya? Pe-A-eR-I-Te, Parit pakai Te nggak pakai D?”
“Benar, Pak!”
“Parit kan selokan ya, got! Lihat di KBIH eh KBBI,” disambut tawa mahasiswa lainnya.
Parit memunyai cara tersendiri untuk menambah kehebohan kelas. “Betul, Pak! Makanya saya sering diolok-olok begitu. Tapi itu belum seberapa Pak!”
Pak Dosen tertarik untuk mendengar celotehannya. “Belum seberapa gimana maksudnya?”
“M Parit Lukito, Lukito adalah nama ayah saya. Lebih malang ibu saya lagi Pak. Tetangga memanggil ibu saya kalau nggak Bu Luk, Bu Kit, bahkan Bu To, Pak,” suasana riuh dengan tawa.
“Emm…gitu ya. Berarti istri saya juga kasihan ya. Nama saya Tulus Sukoco. Panggilannya bisa Bu Tul atau Bu Lus bahkan Bu Suk….” Semakin riuhlah kelas. Pelajaran penting hari itu adalah bagaimana nama berefek pada orang terdekat kita. Jadi, harus hati-hati mengurus akta kelahiran di Dispenduk.
Pernah juga, ketika kami mendengar kabar buruk saat Ayah Parit meninggal. Kami teman sekosan pergi takziyah. Dengan menyiapkan rasa duka, menyiapkan kata-kata simpati untuk menenangkan Parit, dan untuk percaya, bahwa kami turut bela sungkawa.
Ketika kami tiba di rumahnya, Parit menemui kami. Parit diam, kami membisu karena tak ingin mengusik kekhusyukan duka Parit. Lirih kemudian Parit berbicara, “Kalian sudah tahu kan kalau sekarang aku yatim. Jadi, aku patut disantuni, mendapatkan sedekah saat Muharram. Sini, kalian urunan! Hahahaa…,” kata sambil Parit menyodorkan kopiah dengan terbalik. Kami pun mengisinya dengan uang sedekahan. Lalu ngopi di warung dan bercanda seolah tidak terjadi apa-apa.
Begitulah Parit. Selalu saja tertawa. Tanpa beban, loss nggak mikir!
Entah apa yang merasuki Parit. Sudah tiga hari ini dia menjadi pendiam. Jangankan tertawa, senyum pun terasa dipaksakan. Parit bagi teman di kos ataupun di kelas layaknya oase. Menyejukkan suasana. Kini berubah menjadi gurun, tandus, kering, tanpa guyonan dan bualannya.
“Kamu kenapa, Rit?” tanyaku memulai percakapan dan baru kali ini aku seserius ini. Parit tetap diam.
“Kamu ingat bapakmu, Rit?” tanya temanku sekosan Sigit. Parit membisu.
“Kamu punya utang di warung kopinya Pak Yudi? Berapa, biar aku lunasin,” Idrus yang juga sekosan menerka.
“Atau jangan-jangan kamu melarikan anak orang, Rit? Aku sudah tahu kamu suka sama Ifa, tapi bukan begitu caranya, Rit,” celotehku menebak. Kali ini Parit tidak diam, tapi seperti tersinggung.
“Kalian tahu apa? Sudah! Kalau tidak mau membantu pergi sana. Cari teman lain,” tiba-tiba Parit tersulut.
Sudah seminggu kosan kami seperti kota mati. Diam. Bicara pun seperlunya. Juga di dalam kelas, suasana tidak meriah seperti dulu. Parit bagi kami adalah Loki, Dewa Tawa Eufrosine bagi mitologi Yunani, Nuaiman bin Amru bin Rafaah dalam syarah Ihya’ Ulumuddin, Stephen Chow, atau Cak Lontong. Ironis!
Hingga suatu waktu, tetap dengan keseriusannya, Parit memanggil kami berkumpul di ruang tengah kosan. “Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, dan pasti kalian bertanya kenapa seminggu ini aku diam.”
Aku terkejut. Tak pernah Parit menempatkan diriku dalam situasi serius seperti ini. “Sebenarnya ada apa to, Rit? Kami penasaran,” tanyaku.
“Kita kan kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, betul? Makanya, aku menulis opini, esai, cerpen, artkel, tajuk, bahkan surat pembaca ke media-media tak satu pun dimuat. Fair kah ini?”
Sesimpel ini, pikirku. Aku kira sebuah persoalan yang maha berat. Ternyata… belum puas dalam ketidakpuasanku, kembali Parit melanjutkan.
“Mungkin kalian anggap ini sepele. Tapi aku tidak. Bagiku ini penghinaan. Taufik Ismail dokter hewan bisa menjadi sastrawan. Gus Mus tidak pernah kuliah bahasa. Cak Nun lulus kuliah pun tidak. Padahal di tiap-tiap artikel yang dimuat atau diposting aku rasa biasa saja. Jangan-jangan karena mereka editor, foundernya, karena kepopulerannya saja tidak melihat muatan isinya. Atau sudah kena suap karena sahabat atau hubungan kerabat. Ini sudah tidak fair!”
Kami pun diam tanpa bisa berkata apa-apa. “Hanya” masalah inikah yang membuat Parit menjadi terobsesi. Lalu, kini meledak-ledak bak Mel Gibson dalam BraveHeart.
“Coba kalian pikir, kita sudah memelajari fonologi, teori apresiasi, esai, dan kritik sastra. Filsafat bahasa, morfologi, leksikografi, sintaksis, stilistika, semantik, psikolingustika, prosa, sosiolingusitika, psikologi-antropologi sastra, bahkan semiotik. Coba pikir sekali lagi, apa mereka yang termuat dan diposting karyanya mengerti semua tentang ilmu itu. Ha?”
Aku mencoba berargumen, “Tapi mungkin puisimu, cerpenmu, kolom-kolommu kurang komersil, Rit. Coba menulis lagi deh, siapa tahu dimuat.”
“Ini, ini. Betulkan. Hari minggu adalah hari surga bagi penulis. Karena sastra banyak muncul. Dan kau tahu, karya mereka absurd. Sulit dimengerti. Membolak-balikkan kata tanpa makna. Jelimet. Abstrak. Bukankah seni itu menyampaikan untuk tersampaikan? Apakah orang awam bisa memahaminya?” Parit kembali berorasi.
Menyesal aku dengan argumenku tadi. Kucoba lagi, barangkali Parit mau menerima masukanku. “Ya, itulah, Rit. Mungkin karyamu bagus. Hanya saja butuh momen yang pas. Pas Ramadan artikel islami. Hari Pahlawan tentang nasionalisme. Nah, giliran kita masuk ke zona itu, karya kita kalah dengan nama-nama yang sudah trending.”
“Oke, baiklah! Hari ini aku akan berhenti menulis puisi. Aku tidak sudi menulis opini atau kolom. Aku muak menulis cerpen. Aku putuskan untuk ….”
Belum selesai Parit dengan ucapannya, aku paranoid takut Parit akan berbuat apa-apa. Minum sampai mabuk. Pulang jalan kaki atau nekad bunuh diri. Segera aku berteriak, “Putuskan untuk apa, Rit? Pikir dulu baik-baik.”
“Sudah aku pikirkan baik-baik. Hari ini aku putuskan untuk berhenti menulis puisi, opini, tajuk, berita, cerpen. Aku putuskan untuk….” tak sabar kami mendengar lanjutannya.
“Aku putuskan untuk tidak menjadi penyair, kolumnis, ataupun cerpenis. Tapii…”
“Tapi…tapi apa, Rit?” aku mulai khawatir, jangan-jangan Gus Parit ingin jadi radikalis, lebih buruk lagi teroris, karena sudah terdoktrin, terkontaminasi dengan rasa ketidakpuasannya.
“Aku ingin jadi novelis!” seru Gus Parit dengan mantap.
Kami bengong. Masing-masing kembali ke kamar. Kami berjanji akan membalas Parit dengan mendiamkannya seminggu atas keputusan itu.