Beberapa waktu terakhir, dua berita tentang pesantren sempat ramai dan bikin banyak orang geleng-geleng kepala. Pertama, tragedi ambruknya musala di Pesantren Al-Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur, yang memakan korban puluhan santri. Kedua, isu framing negatif Trans7 terhadap Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang menampilkan visual kiai seolah-olah yang dikaitkan dengan perbudakan. Menurut saya, dua-duanya jadi tamparan keras; satu soal lemahnya pengawasan, satu lagi soal cara media memotret pesantren tanpa konteks yang utuh.
Isu Ketimpangan Pesantren

Tapi kali ini, saya tidak mau ikut larut memperdebatkan siapa yang paling salah. Saya hanya ingin membahas hal yang menurut saya lebih penting dan jarang disentuh. Yaitu, tentang pemerataan jumlah pesantren, izin pendiriannya, dan pengawasan yang, kalau boleh jujur, memang perlu diperketat lagi. Karena, kalau sistem dasarnya belum rapi, hal-hal seperti ini bakal terus terulang dalam bentuk berbeda.
Menurut data Kementerian Agama per Oktober 2025, jumlah pesantren di Indonesia mencapai sekitar 42.391 unit. Angka ini tampak membanggakan, menandakan semangat masyarakat terhadap pendidikan berbasis agama masih tinggi.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, lebih dari 60 persen pesantren itu berada di Pulau Jawa, dengan Jawa Barat memimpin sekitar 12.977 lembaga, disusul Jawa Timur dan Banten. Sementara itu, provinsi di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Barat hanya memiliki 958 pesantren, dan di Maluku jumlahnya bahkan hanya puluhan.
Ketimpangan itu menegaskan bahwa pemerataan pendidikan pesantren masih menjadi pekerjaan rumah besar. Akibatnya, akses pendidikan keagamaan bagi masyarakat di luar Jawa menjadi lebih terbatas, sementara konsentrasi pesantren di wilayah tertentu berpotensi menimbulkan disparitas mutu dan fasilitas antardaerah.
Kesenjangan itu berakar pada dua faktor; sejarah dan infrastruktur. Pesantren memang telah berakar kuat di Jawa sejak era Walisongo. Dan dengan semakin berjalannya waktu, jaringan ulama dan alumni membentuk ekosistem yang semakin padat dan mapan. Akan tetapi, daerah-daerah di luar Jawa masih terkendala dalam hal sarana, pendanaan, dan sumber daya manusia (SDM) untuk membangun pesantren secara berkelanjutan. Hal ini yang menurut saya perlu segera dibenahi.
