Raja Ampat dan Antroposentrisme Sekuler

Di ujung timur Indonesia, tersebar gugusan pulau yang keindahannya bagai serpihan surga yang jatuh ke bumi—Raja Ampat. Lebih dari sekadar destinasi eksotis, wilayah ini adalah salah satu benteng terakhir bagi keragaman hayati laut, menaungi lebih dari 75% spesies karang dunia.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, gemuruh mesin tambang mulai menggantikan bisikan ombak dan kicau burung Cendrawasih.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Hutan hujan tropis dibabat, tanah dilubangi, dan laut ternoda limbah. Raja Ampat, yang dahulu menjadi lambang harmoni antara manusia dan alam, kini terancam menjadi saksi bisu dari kerakusan modern.

Banyak pihak mengecam tindakan eksploitasi yang terjadi, namun akar persoalannya jauh lebih dalam daripada sekadar kesalahan izin atau pengawasan yang longgar.

Kasus tambang Raja Ampat merupakan manifestasi nyata dari krisis filosofi modern tentang alam. Di balik keputusan-keputusan ekonomi dan politik itu, ada satu paradigma besar yang bekerja secara diam-diam tapi destruktif: pandangan antroposentris sekuler.

Paradigma ini meletakkan manusia sebagai pusat segala sesuatu. Alam dipandang tak lebih dari objek tak bernyawa, yang boleh diperah, dibor, ditebang, selama menguntungkan.

Di dalam cara pandang ini, tak ada tempat bagi kesucian alam, tak ada ruang untuk keheningan yang sakral, apalagi tanggung jawab spiritual.

Peradaban ini adalah  peradaban yang sibuk membangun pencapaian teknologi, namun abai terhadap jerit makhluk lain yang tak bersuara. Inilah wajah dari modernitas yang memuja angka pertumbuhan, tapi membutakan mata terhadap kehancuran yang terjadi diam-diam di bawahnya.

Di titik inilah, kritik tajam dari pemikir besar dunia Islam, Seyyed Hossein Nasr, menjadi sangat relevan. Ia menyebut krisis lingkungan modern sebagai akibat dari desakralisasi alam, ketika manusia berhenti melihat dunia sebagai ciptaan Ilahi yang layak dihormati.

Menurut Nasr, selama manusia terus menempatkan dirinya sebagai penguasa absolut dan alam sebagai budak bisu, maka kehancuran ekologis hanyalah soal waktu.

Alam sebagai Objek

Pandangan antroposentris sekuler menempatkan manusia di pusat alam semesta dan alam diperlakukan semata-mata sebagai sumber daya ekonomi.

Alam tidak dihormati sebagai entitas yang memiliki nilai batin dan spiritual. Sistem ini mendorong eksploitasi terus-menerus, seperti yang terjadi di Raja Ampat—tambang merebut wilayah yang berperan sebagai paru-paru laut dunia, tanpa mempertimbangkan dampak sosial budaya penduduk asli dan ekosistem yang rapuh.

Citra indah Raja Ampat kini tergeser oleh gema kedinamisan tambang, situasi yang mencerminkan kegagalan paradigma sekuler mendefinisikan alam.

Resakralisasi Alam

Seyyed Hossein Nasr mengkritik kuat paradigma modern sekuler, yang menganggap alam mirip mesin mati tanpa kesucian.

Pandangannya mendorong agar manusia melihat alam kembali sebagai subjek yang memiliki nilai intrinsik dan spiritual, bukan sekadar ‘it’ yang bisa diukur dan dikendalikan.

Ia melihat krisis lingkungan sebagai cerminan krisis spiritual—ketika manusia kehilangan kesadaran akan hubungan batin mereka dengan alam sebagai cerminan kekuasaan Tuhan .

Nasr menegaskan bahwa alam adalah teofani, wahyu dari Tuhan, dan kitalah khalifah yang diberi mandat untuk menjaga dan memeliharanya.

Tradisi modern terlalu menekankan sains dan eksploitatif semata, sehingga kehilangan dimensi metafisik, etika, dan religius yang mendalam.

Cermin Krisis Spiritual

Kasus Raja Ampat menunjukkan bagaimana keyakinan antroposentris sekuler mendikte tindakan manusia: tambang dilanjutkan karena nilai ekonomis, tidak karena ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat. Praktik ini menciptakan kerusakan ekologis sekaligus luka sosial dan budaya.

Sementara itu nilai-nilai seperti ukhuwah, tanggung jawab sosial, dan sikap tawadhu hilang tergerus tujuan ekonomi. Aksi pembatalan izin tambang bukan solusi permanen, jika paradigma manusia selaku penguasa tanpa tanggung jawab tetap bertahan.

Ekoteologi Implementatif

Nasr menawarkan jalan keluar melalui resakralisasi alam—membangkitkan kesadaran bahwa alam memiliki nilai sakral dan hubungannya dengan manusia bersifat eksistensial dan spiritual. Implementasinya dalam lampiran konkret.

Pertama, Desain Kebijakan Ekologis. Perizinan tambang harus menegaskan bahwa alam bukan barang ekspor; pemerintah perlu memasukkan nilai kesucian alam dalam regulasi dan ekologi budaya masyarakat.

Kedua, Pendidikan Multi-disipliner. Pesantren dan universitas perlu memasukkan modul eko-teologi dan filosofi lingkungan. Santri maupun pelajar teknologi harus memahami bahwa alam bukan hanya materi, tetapi cerminan kosmis dan perwujudan akar spiritual.

Ketiga, Teknologi Beretika. AI dan algoritma bisa menaksir dampak ekologis, bukan hanya efisiensi produksi. Teknologi seharusnya mendukung pelestarian sistem hidup dan kemanusiaan, bukan semakin menjauhkan manusia dari akar spiritualnya.

Keempat, Praksis Spiritual-Ekologis dalam Lingkungan Lokal. Aktivitas komunitas lokal di Raja Ampat bisa dibantu untuk membangun ekowisata dan konservasi berbasis adat dan spiritual budaya setempat.

Alarm dan Harapan

Sikap antroposentris sekuler telah menciptakan krisis ekologis dan spiritual. Raja Ampat jadi peringatan bahwa kecerdikan teknologi dan sains tidak cukup jika tidak dibantu fondasi nilai religius dan spiritual. Nasr menegaskan bahwa tanpa resakralisasi, bahkan data dan survei canggih akan mudah disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi tunggal .

Namun ada peluang berharap. Pemerintah telah mengambil langkah dengan mencabut izin tambang, dan laporan masyarakat lokal bersuara keras untuk konservasi. Para pemuda adat, akademisi, dan ulama bisa bersama membangun model pelestarian berlandaskan spiritualitas.

Hubungan Manusia-Alam

Paradigma baru yang diusung Nasr menuntut agar manusia melihat alam lebih dari objek produksi. Raja Ampat menuntut kita untuk menjadikan alam sebagai subjek, mitra spiritual, dan korban penting dari tindakan manusia.

Kita perlu memperluas definisi pembangunan: bukan sekadar output ekonomi, tetapi kualitas hubungan kita dengan alam dan satu sama lain.

Raja Ampat seharusnya menjadi laboratorium bersama, yakni lokasi percobaan transformasi paradigma, dari eksploitasi ekstrem, menuju pelestarian spiritual.

Jika masyarakat dan negara dapat menjalin pola pikir ini, maka kemajuan ekonomi akan berirama seimbang dengan keberkahan alam, adil bagi generasi sekarang dan mendatang.

Referensi:

  • Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968, Sayyed Hossein Nasr)
  • Religion and the Order of Nature (1996, Sayyed Hossein Nasr )
Multi-Page

Tinggalkan Balasan