“Santrè Latee sè ta’ asongko’an, ta’ èakoa tang santrè” demikian yang al-maghfûr lahu KH Ahmad Basyir AS sampaikan di hadapan santri Pondok Pesantrem Annuqayah Latee, Sumenep, Jawa Timur. Artinya kurang lebih begini: “Santri Latee yang tidak memakai songkok, tidak akan Saya akui sebagai santri.”

Tidak hanya sekali hal itu disampaikan di hadapan santri. Pada masa awal saya di pesantren, antara tahun 2013-2015, Kiai Basyir sering menyampaikan perkataan tersebut, tak terkecuali saat menjelang liburan pesantren. Hal tersebut membuat para santri, demikian pula saya yang masih duduk di jenjang madrasah tsanawiyah, “ketakutan”.

Selayaknya hubungan santri dengan kiai, hal yang paling ditakuti seorang santri adalah tidak mendapat rida guru dan tidak dianggap sebagai santrinya. Ketakutan inilah yang menjadikan para santri Latee kala itu lebih awas dan berhati-hati. Salah satu sikap seorang santri adalah melaksanakan dawuh tersebut: memakai songkok di manapun ia berada.
Songkok dan Identitas: Pemahaman yang (masih) Polos
Selama kurun waktu lebih dari satu dekade, sejak menjejakkan kaki pertama kali di pesantren pada tahun 2013 sampai dengan meninggalkan pesantren pada pertengahan tahun 2024, saya hanya memaknai dâbu (perkataan) Kiai Basyir tersebut secara harfiah.
