SARUNG KIAI DJAMAL
ketika lakon abimanyu berguru
kepada begawan abiyasa usai
benang warna-warni ditenun rapi
di gigir sunyi. dijahit dengan lembut
seperti kasih bunda di samudera doa.
(warnanya teduh.
ia tak bisa dibuat dari nafsu.
tak bisa dipakai dengan nafsu)
ketika segala yang berbau dunia akan sirna
aku meyakini sarungmu akan abadi
ditirakati huwal habib oleh santri
seperti muasal kau membuatnya.
(telah kau sempurnakan sarungmu
dari gondang legi-tambakberas
dari tambakberas-lirboyo
dari lirboyo-lasem)
ketika hikayat & ayat
kau ubah menjadi lagu
; kau datangkan gus dur
di hadapanku, maka izinkan
aku gandolan sarungmu, romo!
(sebab aku tak bisa jalan sendiri
menuju alam sufi: tempat
sarungmu abadi)
al bashiroh, 2021.
YANG TAK PERNAH SELESAI DITAKZIMI
—kepada Abah KH Abdul Kholiq Hasan
kiranya waktu hanya untuk
menambah umur dan memutihkan uban
tambahnya umurmu adalah kecemasan
yang selalu kutakutkan datangannya.
kau adalah samudera
yang tak pernah selesai diarungi.
cahaya yang menuntun
menerangi rimbun gelap jalan sunyi.
pada jejak langkahmu yang terekam
dinding tambakberas. pada dada santri
yang menjadikanmu sebagai murobbiruhi.
pada dadaku, kiai. kau adalah guru
yang tak pernah selesai kutakzimi
madiun, 2020.
KEPADA YANG SELALU KUPANGGIL IBU
: Ibu Nyai Hj Basyirotul Hidayah
bermula dari kasih sayang
seorang ibu, aku tenggelam
di kedalaman teduh matamu
hari-hariku terbuat dari cintamu
yang membawa langkahku pergi
dari buluh menuju tambakberas
tahun-tahunku tersusun dari
doa-doa panjang dan wejangan
yang kau berikan lewat perbuatan
jika kelak aku tak lagi di hadapanmu
dan waktu membawaku pergi
ke tempat paling jauh di mana
hanya al fatihah yang bisa menyentuh,
tetap saja di gelap pandanganku ini
selalu ada senyum rekah dari wajahmu
al bashiroh, 2021.
ilustrasi: perpus isi yogyakarta.