Ibuku berulang kali bilang kepadaku, kalau ayah sedang bertugas di Rumah Sakit yang jauh sekali. Dan ayah tidak bisa menolak, karena ayah adalah seorang abdi negara yang harus selalu siap sedia, kapan saja, ditempatkan di mana saja. Ayah harus segera berangkat demi menjalankan tugas yang diberikan negara.
Aku yang masih kecil sering bertanya kepada ibu, “Kapan ayah pulang, Bu?”, “Apakah ayah tidak kangen kepadaku?”, “Ayah mungkin tidak sayang lagi denganku ya, Bu? Karena tidak pulang-pulang?”
Ibu lalu menjawab dengan jawaban yang sama, “Ayah akan segera pulang, ayah pasti kangen dengan kamu, Nak, dan ayah selalu meyayangimu.”
Aku yang masih kecil mencerca ibu lagi, “Jangan-jangan ayah di kota sana juga punya anak lain yang sama sepertiku ya, Bu, sehingga tidak mau pulang kembali ke rumah ini?” Ibu menutup mulutku dengan jemari telunjuknya, kemudian terlihat bulir air menetes dari mata ibuku.
Ayah sangat menyayangiku. Ayah memang sering pergi karena pekerjaannya sebagai seorang perawat di sebuah Rumah Sakit. Seringkali pergi beberapa hari, namun kepergian sekarang terasa sangat lama. Aku masih ingat, ketika ayah pergi aku masih duduk di TK A, dan sekarang sudah di TK B.
Terakhir yang aku ingat, ketika ayahku berkemas, malam sebelum ayah ingin berangkat bertugas. Ayah bersama ibu di dalam kamar mengepak sebuah koper besar dengan tas-tas kecil yang mungkin berisi peralatan medis. Pagi sebelum berangkat, kami sarapan dulu. Aku melirik, ibu dan ayah tidak banyak bicara. Hanya sesekali saling pandang, kemudian mereka berdua lama-lama menatapku lekat. Aku tidak peduli. Aku habiskan saja sarapan pagiku.
Kemudian, ayahku menyodoriku gelas kopi miliknya, sebelum sempat ibuku melarangnya. “Ini, Nak, sisa kopi ayah. Diminum sedikit saja, biar nanti kuat melek seperti ayah.. he-he- he.”
Ibu hanya diam, tersenyum sebentar kemudian matanya sembab. Ayahku yang melihatnya, segera mencium pipi ibuku dan pipiku, tanda segera berangkat. Tidak seperti biasanya, ibu menggendongku mengantar ayah sampai ke pagar rumah. Biasanya cukup di depan pintu rumah. Kali ini, ibu menggendongku sampai motor matik yang dikendarai ayah sudah tidak terlihat lagi.
Setelah masuk ke dalam rumah, berbagai pertanyaan aku lontarkan kepada ibu. “Ayah pergi ke kota mana, bu?” Ibu diam, sambil memandangi gelas kopi sisa ayah tadi. Aku pun meneruskan pertanyaanku, “Ke Surabaya?” Ibu menggeleng. “Ke Jakarta?” Ibu masih menggeleng. “Ke Bandung?” Ibu tetap menggeleng, lalu mencium dahi dan pipiku dengan sedikit keras. Terasa sedikit panas kulit ibu— oh… pantas disertai derai air mata.
Setelah ayahku pergi, saudara-saudara dari ibu dan ayahku sering berkunjung ke rumah. Mereka tiba-tiba terlihat semakin sayang padaku. Paklik-bulik, pakde-bude, juga kakung dan uti sering menginap beberapa hari di rumah. Tak lupa mereka memberiku banyak jajan, mainan, atau mengajak sekadar jalan-jalan mengelilingi kampung. Mereka sering sekali mengusap-usap kepalaku dan memelukku. Yang aku heran, ketika kami menonton televisi bersama-sama dan ada acara seputar berita Corona yang aku sendiri belum tahu apa itu, entah ibu atau lainnya segera mencari remote untuk memindah channel. “Cari Upin-Ipin saja ya, atau Spongebob, biar bisa tertawa.”
Dulu, masih sedikit remang-remang ingatanku. Aku sering berkunjung ke Rumah Sakit tempat ayah bekerja. Kadang ibu mengirimkan masakan untuk makan siang ayah. Atau ketika ayah dapat giliran tugas malam, sorenya aku berkunjung dengan ibu, sekitar 15 menitan aku diajak makan sore di kantin Rumah Sakit dengan ayah. Teman-teman ayah banyak yang mengenaliku, katanya ayahku baik, yang diceritakan kepada teman-temannya hanya aku saja, anaknya. Cerita kalau aku belajar sepeda yang belum bisa-bisa, jatuh ketika mengejar kucing, atau minta mainan mobil-mobilan.
Aahh… ayah memang senang bercerita. Hingga sering aku diledek oleh teman-teman ayah ketika bertemu, “Sudah dapat belum mainan mobil-mobilannya? Itu ayahmu sudah gajian.”
Aku terkejut mendengar kabar itu, segera aku menghampiri ayah dengan tatapan mengiba, berharap. Ayah hanya tersenyum mengiyakan, kemudian menatap temannya yang bilang tadi dengan gregetan. Entah apa itu artinya. Teman ayah sambil mesam-mesem cekikikan menatapku.
“Sudah, kalau ayah tidak membelikanmu, Om saja yang nanti akan membelikannya.” Kami pun tertawa. Ibu yang melihat juga tertawa sambil kemudian menggendongku pulang.
Hari ini pun aku juga bertanya kepada ibu. “Apakah ayah di sana juga merawat orang sakit seperti yang selama ini yang dilakukan?” Ibu mengangguk. “Wah, ayah hebat. Sering menolong orang yang sakit. Apalagi sekarang, ayahku sedang menolong orang sakit di kota, pasti orang-orang di sana merasa tertolong dengan kehadiran ayaku.
“Berarti ayah hebat ya, Bu? Sudah banyak orang yang ayah rawat hingga sembuh. Nanti, ke teman-teman aku akan menceritakannya.” Ibu melihatku bangga ketika aku berkata seperti itu. Mata ibu kembali berurai.
Sebetulnya aku sangat rindu kepada ayah. Aku rindu dengan dongeng-dongengannya. Rindu dengan candaan dan guyonannya. Rindu diajak berkeliling dengan sepeda motornya. Apalagi, ketika aku digendong belakang, di punggungnya. Terasa hangat sekali punggung ayahku. Bau keringatnya khas.
“Ayah, kapan pulang?”
Tapi, teringat kata ibu, bahwa tugas ayah sangat mulia. Merawat dan menolong orang sakit. Katanya, itu pekerjaan yang disukai Allah dan berpahala. Ayah harus menolong orang-orang yang sedang sakit, agar bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Jika teringat perkataan ibu tadi, aku jadi diam. Tapi, aku sangat rindu dengan ayah. “Yah… kapan pulang ke rumah?”
Sore itu, aku di depan rumah sambil bermain bola sendiri. Mbak Ida yang biasanya mengajariku di TPQ kemudian mampir dan singgah di rumahku. TPQ sudah lama libur. Katanya diliburkan karena Corona. Corona sudah melebihi Presiden, pikirku. Berhak menutup dan meliburkan sekolahku. “Huh!”
Tampak ibu bercakap-cakap sebentar dengan Mbak Ida di ruang tamu. Mbak Ida orangnya baik, alim, dan sering membantu ibu kalau di rumah ada hajat kendurenan kirim doa, yasinan atau tahlilan atau apa pun. Ibu sering minta bantuan Mbak Ida untuk memasak.
Selang berapa lama Mbak Ida menemuiku dan menuntun tanganku untuk pergi ke musala tempat TPQ kami berada. Mbak Ida menatapku, “Eh, Mbak lupa siapa nama kamu?”
Aku menatapnya heran, “Zakik”!” jawabku dalam keheranan. Kenapa Mbak Ida tiba-tiba menanyakan hal itu.
“Kalau lengkapnya?”
“Ahmad Muzaki. Ayah yang memberikan nama itu, kata ibu.”
“Pinteeer. Ahmad artinya terpuji, zaki artinya cerdas. Jadi, harapan ayahmu agar kamu nanti bisa jadi orang yang terpuji dan pintar.”
“Siapa dulu dong yang memberi nama? Ayah…” jawabku dengan penuh kebanggaan.
“Zaki kangen ayah?”
“Wah, jangan ditanya, Mbak! Kuuaanguuueen banget.”
“Iya mbak ngerti. Tadi ibu kamu bilang, kalau ayah itu lupa bawa hape, jadi tidak bisa dihubungi. Terus, kalau mau kirim surat, tugasnya ayah berpindah-pindah.”
“Jadi, gimana dong Mbak, kalau Zaki ingin bilang sama ayah, kalau aku kangen dan minta ayah supaya cepat pulang.”
Tampak Mbak Ida terdiam sebentar. Lagi-lagi seperti ibu. Matanya sembab sambil terisak. “Zaki tenang saja! Zaki bisa kok berkirim surat ke ayah untuk menyampaikan pesan tadi.”
Mendengar hal itu aku pun tertawa senang. “Caranya, Mbak?” tidak sabar aku ingin mendengar saran dari Mbak Ida.
“Caranya dengan membaca surat. Zaki baca surat, kemudian Allah akan membawanya untuk disampaikan ke ayah Zaki.”
“Baca surat apa, Mbak?”
“Zaki baca Surat Yasin. Ya misalnya nanti tidak fasih pun tidak apa-apa. Ini Mbak Ida bawa yang ada tulisan latinnya. Zaki bisa baca, kan?”
“Wah, bisa Mbak. Zaki bisa baca kalau ada huruf latinnya.”
“Siipp…nanti Mbak temani.”
Mbak Ida menggandengku ke tempat wudhu dan membimbingku berwudlu. Tidak lupa Mbak Ida memakaikan sarung yang ternyata sudah disiapkan sedari tadi, lengkap dengan baju koko dan kopiahku. Kami memasuki teras dan masuk ke dalam musala yang terasa tenang. Suasana tampak lengang dan sepi. Karena TPQ diliburkan, musala jadi tidak ramai dengan pemandangan santri kecil yang biasanya datang mengaji.
Mbak Ida kemudian memberiku buku kecil, dimintanya aku mengikuti apa yang Mbak Ida ucapkan. Selesai membaca Al Fatihah beberapa kali, barulah kami membaca surat untuk ayahku, surat yang akan disampaikan Allah kepada ayahku. Surat Yasin.
Semenjak itu, aku rajin sekali baca Surat Yasin. Yang kata Mbak Ida merupakan surat sebagai bentuk rasa rinduku kepada ayah. Surat yang akan kubaca, akan dibawa angin milik Allah agar sampai ke telinga ayah, begitu kata Mbak Ida. Ibu yang mendengarku membaca Surat Yasin sering ikut-ikutan membaca juga di belakangku. Sesekali ibu sambil membaca mengusap pipinya yang telah tertetesi air mata. Ibu tentunya juga sama denganku, rindu sekali dengan ayah.
“Bu, ayo kita pergi ke tempat kerja ayah.”
Entah tiba-tiba mengapa permintaan itu keluar dari mulut kecilku. Ibuku yang sedang menyapu, tentu saja kaget dengan permintaanku. “Untuk apa ke sana, Nak?”
“Aku sudah lama tidak bertemu dengan teman-teman ayah. Mungkin saja ada kabar dari teman-temannya ayah…”
Ibuku tidak kuasa menolak keinginanku. “Baiklah, nanti sore ya..Sekalian ibu nanti bawakan gorengan untuk teman-teman ayah di sana.”
Aku merasa senang sekali. Aku beranjak ke kamar tidurku untuk menyiapkan sesuatu. Sesampai di Rumah Sakit tempat ayah bekerja dulu, suasananya sangat ramai di luar. Aku melihat semua orang memakai masker. Tampak mobil ambulans berlalu lalang. Beberapa orang di pojok parkiran tampak menangis, dengan beberapa orang di belakangnya mengelus punggung orang yang menangis tadi.
Ibu menyuruhku menunggu di pos satpam, sementara ibu terlihat bercakap-cakap dengan petugas satpam yang juga aku sering lihat dulu. Kemudian ibu dan satpam tadi mendekatiku. Sama persis yang biasanya dilakukan saudara-saudara ayah dan ibu, mengusap-usap kepalaku beberapa kali. Aku hanya diam, tersenyum di balik masker yang dipakaikan ibuku.
Ibu menggandengku ke ruangan tunggu di lobi depan. Ibu bilang bahwa tidak boleh untuk masuk ke dalam, katanya lantainya Rumah Sakit sedang di pel. Jadi, aku dengan ibu cukup menunggu di ruang lobi depan. Nanti, teman-teman ayah akan datang menemui kami berdua.
Cukup lama aku dan ibu menunggu. Sudah setengah jam lebih. Kemudian, tiga teman ayahku datang menemui kami. Om Han, Om Candra, dan Om Sis adalah teman-teman dekat ayahku. Ibu tampak bercakap-cakap sebentar dengan mereka sembari memberikan gorengan yang tadi ibu bawa. Kemudian aku dipanggilnya untuk menemui teman-teman ayah.
Om Han menyapaku, “Halo, bro Zaki, apa kabar nih?”
Sudah lama aku tidak mendengar suara Om Han yang dulu sering meledekku. “Baik, Bro Han!”
Demi mendengar hal itu, kami pun tertawa. Om Candra juga mendekatiku, “Bro Zaki ada apa nih jauh-jauh datang ke sini?”
Aku menatap satu-per satu teman-teman ayahku. “Gini Om… kata Mbak Ida, aku bisa berkirim surat kepada ayah. Nanti Allah yang akan menyampaikannya.”
Tiga teman ayah saling berpandangan tampak kebingunan. Om Sis yang penasaran bertanya kepadaku, “Caranya bagaimana, Bro Zaki?”
“Aku dan ibuku sering baca surat untuk ayah. Kata Mbak Ida, surat yang aku baca nanti disampaikan Allah kepada ayah.”
“Ooo… begitu. Mana suratnya? Nanti om-om bertiga pasti akan ikut baca surat itu, agar ayah Zaki bisa mendengarnya.”
Aku senang. Teman-teman ayah memang baik. Mau ikut membaca suratku. Barangkali kalau banyak orang yang membaca suratku, ayah bisa segera pulang.
Om Han, kembali bertanya, “Ayo Zaki, mana suratnya? Om Han, Om Candra, dan Om Sis pasti akan bantu Zaki baca suratnya.”
Aku segera mengeluarkannya dari dalam tas kresek yang sedari tadi aku tenteng. Tiga buah buku kecil yang dalam sampulnya tertulis “Yasin-Tahlil.” Tidak lupa, di halaman sampul depan ketiga buku kecil itu, aku tempeli fotoku dengan ayahku.
“Ini Om…,” aku menyerahkannya kepada Om Han.
Ibuku yang sejak tadi melihat tingkahku hanya diam. Matanya berair. Kali ini agak keras suara isaknya. Tampaknya sedang di tahan, karena ini Rumah Sakit, pikirku. Ibu menangis memelukku. Aku heran sekali. Lebih heran lagi, setelah melihat ketiga teman ayah tampak jongkok bersimpuh dan menangis seperti ibuku.
“Ternyata menangis dapat menular, ya,” pikirku.
*Salam hormat teriring doa husnul khatimah, khusus buat pahlawan nakes Indonesia. Al Fatihah…
Dahsyat, mantab, gaswat,,,
Masya Allah…jadi teringat ayah😓