Tuan Asrul,
Surat ini saya tulis bukan untuk membalas Surat Kepercayaan Gelanggang atau mengulangi pekik para pemuda tahun lima puluhan yang merasa baru saja menemukan suara dirinya. Tidak, Tuan. Surat ini lebih seperti secangkir kopi yang diseduh perlahan di Adakopi Original—sebuah kafe sederhana yang menjadi tempat kami tak hanya ngopi, tetapi juga bertukar ide, berdebat, dan mendirikan Semaan Puisi, yang kelak melanjutkan warisan pemikiran dan jejak kebudayaan yang Tuan tinggalkan.


Saya menulis ini sambil mendengarkan denting kecil sendok yang beradu dengan cangkir, seperti tanda seru yang tercebur ke dalam gelas. Di luar, azan magrib sudah turun perlahan ke dada malam. Ah, Tuan Asrul, tiba-tiba saya teringat bait puisi dalam “Lagu daripada Pasukan Terakhir”, Ah mengapa pada hari-hari sekarang, // matahari sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya // yang akan dikirim ke bumi.
Kali ini, Tuan Asrul, saya membayangkan Tuan mungkin sedang duduk di beranda surga, ditemani Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Gus Dur, salah seorang cucu pendiri Nahdlatul Ulama, Hadrotusyekh Hasyim Asy’ari, tempat engkau dulu juga berkhidmat di dalamnya.
