Wasiat tentang Ayuna

161 views

Banyak orang menyebutku seorang petualang. Itu karena aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan komunitas motorku. Dari satu desa ke desa lainnya, melingkar luar kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga menyeberangi pulau. Rasa penasaranku akan kehidupan yang membuatku nyaman menjalani hidup seperti ini.
Ijazah sarjana pertanian nampaknya malah membuatku sering menyusuri debu jalanan, bukan rangkaian tanaman.

Sebagai keluarga keturunan petani dari generasi ke generasi, tampaknya itulah alasan bapak-ibu menyekolahkanku di jurusan pertanian. Sedang aku, sebagai anak tunggal, hari-hariku malah lebih banyak di depan layar televisi, gadget, melakukan perjalanan, atau terkadang mengurung diri di kamar sembari membaca buku-buku sastra.
Kalaupun terpaksa turun ke sawah, aku hanya mengantarkan bekal makanan untuk para pekerja tetap di sawah bapak. Kalaupun hatiku lagi berdamai, sekadar berbaik muka, aku pun akan menanyakan keadaan keluarganya, apa yang ditanam, bagaimana cara menanamnya, hingga kapan panennya.

Advertisements

Aku pun masih tidak paham cara membaca cuaca para petani desa untuk mengawali musim tanam. Aku pun tidak tahu filosofi mengapa orang menanam padi harus mundur teratur. Aku pun tak habis pikir mengapa para kuli bapak masih setia mengabdi meski harus di sawah dari pagi hingga sore dengan upah empat puluh ribu rupiah saja. Padahal, itu sama dengan uang jajanku sehari pada masa itu.

Setelah lulus sarjana, tak lantas aku turun ke sawah. Aku cerdas dan punya banyak akal meski itu hanya menurut pandanganku saja. Aku panggil Pak Saidi, kuli sekaligus teman akrab bapak yang paling lama dan berpengalaman untuk memimpin pekerjaan di sawah. Mulai tanam, perawatan, pemumpukan, panen, pascapanen kuserahkan sepenuhnya pada Pak Saidi. Sampai saat ini pun, aku tak hafal semua petak-petak sawah milik bapak. Aku sudah sangat percaya dengan Pak Saidi untuk mengurusnya.

Aku malah memilih untuk menunggu lamaran kerja sebagai abdi negara di kementerian atau dinas daerah. Bersih, terjamin, dan disegani pikirku; jika aku menjadi seperti itu. Tak perlu berpanas-panasan, kaki pecah-pecah sering berkawan dengan lumpur dan tanah, atau tangan kapalan karena terlalu lekat dengan cangkul dan sabit.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan