Yang dinamakan Yai, di kampung mungkin lebih diajeni, dihormati, ketimbang mereka yang bergelar haji. Lihat saja, pengkhotbah jumatan di mesjid kampung, pemimpin doa acara yasinan-tahlilan, pengajar-pengajar di TPQ, semuanya tersematkan pada mereka yang berjuluk Yai.
Dan, Yai kampung itu bernama Agus Basuki, tanpa embel-embel nama arabic pada umumnya. Di langgar sederhana, Yai Agus menggelar tikar dan duduk berhadapan dampar. Di depannya, santri-santri kampung, dari berbagai usia, kalangan, haji juga, tekun mendengarkan.
Bakda maghrib sampai isya, rutin setiap malam Selasa dan malam Rabu, Yai Agus membuka kitab kecil, kitab Mabadi’ul Fiqhiyah jilid dua. Memang, ilmu fikih menjadi dasar pengajian kecil ini. Yai Agus merasa belum perlu menambahkan kitab lain, karena masyarakat kampung perlu dibenahi dari segi syariat, jangan sampai tinggi-tinggi. Sebab, ketinggian kajian dalam mengaji ketika belum siap, melampaui syariat dengan hakikat, tarekat, tasawuf, sampai makrifat, hanya menimbulkan perdebatan panjang. Jadi, secukup dan dalam kadarnya. Efektif!
“Manusia aneh itu pun mengaku,” Yai Agus memulai, “senang mengaku, gemar bersumpah, tapi tidak bersimpuh, gemar bertakbir keras, namun kepada takdir ia sering khauf, takut. Bersumpah dan bertakbir, sambil mengelus jenggotnya, sambil membelakangkan pecinya agar jidat hitamnya kelihatan, seolah berkata, ‘Aku Islam yang paling benar!’” Lainnya KW.
Bertanyalah salah satu santrinya, Pak Haji Tohir, “Aneh dan pengakuan itu dalam konteks yang bagaimana, kiai?”
Yai kampung itu sedikit memejamkan mata, membuka kembali sembari menghela napas, berat dan panjang, mengerutkan dahi sebentar menengok ke luar langgar, kemudian menatap luas para santrinya yang dari berbagai umur dan kalangan.
“Dengarlah ini,” Yai Agus memulai menjelaskan. “Mengaku mengenal Allah, tapi tidak dekat dengan-Nya. Mengenal nabi dan rasul, tapi tidak dengan ajarannya. Mengenal kitab Quran, tapi tidak menjadikannya sebagai pedoman. Mengharap surga, tapi tidak berbuat untuk menujunya. Menghindari neraka, tetapi berbuat yang mendekatinya. Tekun menimbun dosa, setan jelas-jelas dan benar-benar musuh nyata, tapi malah berkawan akrab dengannya. Takut mati, tetapi tidak siap dengan bekalnya. Percaya takdir, qada-qadar, tetapi sering mengeluh karenanya. Bukankah itu aneh menurut kalian?”
Jamaah terdiam, tanpa tahu harus membalas ucapan kharismatik yai kampung Agus Basuki.
“Jamaah sekalian yang dirahmati Allah. Allah tidak butuh salat kita, jadi salat ya salat saja karena Allah, yang lain tidak. Jangan mengharap pahala, jangan berharap pula dibalas dengan surga, jika tidak diterima, neraka dan siksa sebagai balasannya. Allah tetap Allah, itu adalah hak mutlak Allah. Kita hanya hamba, cukup menjadi hamba. Berdoa-berusaha itu wajib, tapi tawakal sepenuhnya setelahnya.
Seorang anak kecil menyela, “Jadi, ngaji fikih ini tidak ada gunanya, Yai?”
Jamaah pun terhenyak, takut-takut Yai Agus marah, karena persoalan itu dianggap tidak patut ditanyakan. Yai Agus tersenyum, “Ngger… thole, bocah bagus. Fikih itu menjadi dasar syariat, sebagai bentuk kepantasan menghadap kepada Sang Maha Menghidupi. Makanya, ada syarat, rukun, dan sunah dalam ibadah. Kemudian, seimbangkan dan fleksibelkan. Salat itu harus benar dulu secara fikhiyah. Makanya, kitab-kitab besar menjadikan materi thaharah dalam awalannya, urusan diterima, diganjar, ditolak, bahkan dilaknat, itu urusan Allah. Kita hanya hamba, tidak boleh dan tidak berwenang mencampuri kekuasaan-Nya.”
Sudah menjelang azan isya, Yai Agus menyudahi pengajian sederhananya, menutup dengan doa. “Ya Allah, jika semua ibadahku tidak cukup untuk menggayuh rahmat-Mu, namun aku yakin, rahmat-Mu mampu menggayuhku. Amiin…,”diikuti jemaah yang lain.
Hayya ‘alas shalah, hayya ‘alal falah… mari salat, mari menuju kemenangan…