Guruku Malang, DPR Kusayang

Negeri ini punya panggung komedi paling tragis: syarat menjadi DPR hanyalah cukup usia, WNI, bisa membaca-tulis, sehat jasmani-rohani, dan tidak sedang dicabut hak pilihnya. Tidak perlu gelar doktor, tidak harus bergelar profesor, tidak ditanya pernah menulis jurnal atau tidak.

Sementara untuk menjadi dosen, harus lulus program pascasarjana (S2 minimal), dan melanjutkan S3 bila ingin naik jabatan, menulis jurnal bereputasi internasional, mengikuti akreditasi, bahkan disuruh merangkak mengejar “angka kredit.” Oxymoron yang sempurna: menjadi pembuat aturan semudah membuka mulut, menjadi pendidik bangsa serumit menutup luka.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Lihatlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 240 dengan jelas menyebutkan syarat calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota: cukup ijazah SMA sederajat. Ya, ijazah SMA. Bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mensyaratkan minimal S2 untuk dosen.

Jadi, untuk membentuk pikiran bangsa, Anda wajib jungkir balik di bangku kuliah bertahun-tahun; tetapi untuk membuat undang-undang yang menentukan nasib bangsa, Anda cukup pernah lulus SMA. Ironi ini sudah seperti badut yang mengajar filsafat.

Dosen dan guru dipaksa merangkak dalam birokrasi: sertifikasi, akreditasi, pengukuran beban kerja, laporan kinerja. Mereka harus “membuktikan” dirinya tidak menjadi beban. Padahal, justru mereka yang menanggung beban mental generasi muda.

Di sisi lain, DPR datang dengan jas rapi, bicara sebentar di ruang sidang, lalu pulang membawa gaji miliaran per tahun. Dosen dianggap beban negara, DPR dianggap penyelamat negara. Sebuah paradoks, di mana yang bekerja keras dihina, yang bersantai diagungkan.

Mari kita buka kartu yang sering disembunyikan di balik jargon “pengabdian.” (Koreksi bila ada yang salah) Gaji pokok anggota DPR, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, hanyalah Rp 4,2 juta per bulan—bahkan lebih kecil daripada UMR Jakarta hari ini. Ironis? Tentu saja. Tetapi jangan tertipu, sebab angka kecil itu hanyalah umpan. Tambahkan tunjangan jabatan Rp 9,7 juta, tunjangan kehormatan Rp 5,58 juta, komunikasi intensif Rp 15,55 juta, pengawasan Rp 3,75 juta, listrik dan telepon (Padahal ketika di-WA atau ditelepon oleh rakyat jarang dibalas dan ditanggapi secara serius, bahkan masalah kerakyatan) Rp 7,7 juta uang sidang, hingga tunjangan keluarga untuk istri Rp 420 ribu dan anak Rp168 ribu. Semua masih ditambah dengan tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan (sejak 2025 menggantikan rumah dinas) serta tunjangan beras Rp 12 juta per bulan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

One Reply to “Guruku Malang, DPR Kusayang”

Tinggalkan Balasan