Malam itu dia sedang bahagia. Maka rembulan yang menampakkan diri dengan sempurna di remangnya langit malam itu semakin memeriahkan rona cerah hatinya.
“Sekitar sebulan lagi aku akan meminangmu,” kata lelaki itu. Pelan saja suaranya. Kalimatnya pun hanya sederhana. Pemuda itu polos sekali dalam mengungkapkan keseriusan cintanya. Namun gadis yang duduk di sampingnya tersentak dengan kalimat kekasihnya itu. Sentakan yang memicu syaraf kebahagiaannya.
“Benar Mas? Berarti kamu sudah sanggup memenuhi persyaratan bapak?” gadis itu bertanya dengan nada ceria.
Pemuda bernama Fajar itu baru datang dari kota sore tadi. Kepulangannya adalah untuk memberi tahu Sari, kekasihnya itu, bahwa dia diterima kerja di sebuah pabrik kulit di Kota Malang, dan tentu juga untuk memberi kabar bahwa dia akan segera meminangnya. Bahagianya itu bukan hanya semata-mata mendapat pekerjaan, namun juga karena tiket untuk bisa menikahi kekasihnya itu telah ia miliki. Ayah Sari tidak mau menggadaikan kehidupan anaknya dengan menikahkannya dengan lelaki yang tak jelas pekerjaannya. Kini, ketika ia telah mendapatkan pekerjaan, ia merasa telah mengantungi tiket itu.
Sebulan yang lalu Fajar datang bersama ayahnya untuk melamar Puspitasari binti Karim. Namun dia harus pulang dengan menggendong beban kecewa. Ayahnya pun memikul rasa malu karena Pak Karim tidak mau menerima mantu petani seperti Fajar anaknya itu. Rupanya lumpur becek di sawah yang biasa digeluti pemuda itu menghalangi jalan cintanya. Pak Karim memberi tenggat waktu satu bulan untuk mencari kerja. Jika tidak, seorang pemuda dari tetangga desa siap menggantikan Fajar untuk menyandingi putrinya. Dia tidak ingin anaknya menjadi perawan tua hanya karena menunggu kesiapan pemuda itu.
“Iya. Aku diterima kerja di pabrik kulit. Joko, pemuda yang melamarmu itu, pekerja pabrik juga, kan?”
Sari mengangguk bahagia. Dipandanginya lelaki pujaannya itu. Fajar memandangnya sekilas, kemudian matanya kembali menatap bulan yang sedang bersinar sempurna di hamparan langit yang gulita.