WAJAH IBU
ada yang ranum kutemukan
bergantung dari garis ke garis
pada datar pipimu,
sebelum bibirmu yang ladang
menumbuhkan bunga-bunga
dan memulangkan seratus kupu-kupu
ke pucuknya,
aku belajar membaca wajahmu
yang bulan pancar
induk dari segala sinar
dalam selingkar mukena
selalu melembutkan kata-kata
jadi selembut sutera berjarum sapa
ditusukkan ke siapa
akan menyembuhkan segala luka,
lalu malam tandang
aku tidur di emperan matamu
dengan sebuah rindu
yang mengeras seperti batu.
DINI HARI
tinggal lampu yang piatu
lorong lelap
dan jam berjalan sendirian,
aku tak akan mencintaimu lagi
karena sunyi setelah percintaan
jauh lebih menikam,
dua ekor laron
mengepung sisa gerimis
dari pincuk daun mangga,
sebagaimana sunyi
mengepungku jadi kendi
tanpa air dan bunga melati.
BAYANGAN HUJAN
di tanah, kerat sayatan air
menulis peta kepergian,
kepergian adalah takdir
yang ditakuti tulang,
ilalang diam dalam ligih
tegak menyusu suhu
memahat wajahmu di perut batu,
batu yang menampung
bayangan hujan
menghapus kesedihan
dengan tikai air yang berceceran.
MATA IBEL
di matamu, lebat serampai bunga
melepas salam ke bebatuan;
batu-batuku pecah mencarah arah
hingga aku jadi pasir halus
yang menimang kerinduan
sepanjang kemarau
dan di matamu itu
bertemu hujan.
di matamu, sebatang alif
mengekal jadi jarum
menjahit nasibku dan nasibmu
satu gaun, satu jahitan
sewarna di depan senja
KE LERENG BUKIT RAAS
sore membagi warna pada sanggul rukam