Entah, darimana aku memulai cerita tentang kawanku satu itu. Kami karib sejak SD, jadi hafal betul dengan kelakuannya. Muhamad bentuk tawadluk orang tuanya terhadap Rasulullah. Parit nama yang ingin diberikan dan Lukito adalah nama bapaknya. Muhamad Parit Lukito jika dirangkai lengkap. Kalau mau diceritakan bentuk narasi fiksi cerpen, mirip sebuah dokumentari. Singkat cerita, Parit kecil tumbuh sebagai pribadi yang menyenangkan. Dia senang tertawa, selalu tertawa, dalam keadaan apa pun. Tidak berlebihan, karena Parit pernah menasihatiku, “Sal, hidup itu untuk tertawa, belajar tertawa dan menertawakan kehidupan.” Utopis nan ilusif! Entah dia dapat dari mana kalimat bijak itu.
Setelah lulus SD, aku “terjebak” mengikuti jejak Parit untuk mondok. Padahal, aku ingin ke SMP, untuk menghindari momok yang bernama Bahasa Arab. Parit, Parit… entah mengapa dia seperti magnet berkutub dan aku dari kutub berlawanan, jadi selalu nempel.
“Rit, aku kangen ibuk. Aku nggak kerasan di pondok,” keluhku suatu ketika.
“Dasar anak-e ibuk! Cari positifnya saja, Sal! Kita mondok tugas kita pagi sekolah, sore sampai malam ngaji. Itu tok! La, kalau di rumah, aku harus ngarit mencari rumput, ke sawah, momong-momong adikku. Enakan mondok, Sal! Hwuahaha…,” ceramah Parit.
“Ooo…jadi kamu mondok hanya niat itu to. Pelarian, sebuah penghindaran…”
Tawanya makin keras. “Ha-ha-ha…, itu primernya. Sekundernya, kan kita juga bisa ngaji. Jadi, ini bentuk pelarian yang positif, Sal. Eling, di rumah biasanya kamu ngapain? Tiap sore bersihkan kandang sapi, bantu ibumu di toko, disuruh ini-itu… adeehhh.”
Benar juga si Parit. Ini pelarian, bentuk menghindari. Tapi positif!
Begitulah. Parit selalu menenangkanku saat aku mengeluh tidak kerasan atau pengen boyong. Tawanya selalu menenangkanku. Selain mondok, kami juga sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri. Madrasah kami berada di luar pondok, karena statusnya negeri. Sepulang sekolah, baru kami aktif dengan aktivitas pondokan.