Al-Qur`an dan hadis merupakan dua sumber utama ajaran Islam. Pengutipannya dalam teks-teks keagamaan tentu saja tidak dapat dihindari. Kita bisa menemukan banyak ayat Al-Qur`an maupun teks hadis dikutip dalam berbagai literatur keagamaan.
Namun, ayat dan hadis tersebut seringkali dikutip sepenggal saja. Keterbatasan ruang dan kebutuhan untuk fokus terhadap satu pembahasan membuat para penulis harus memotong ayat atau hadis yang hendak dikutip.
Dalam literatur berbahasa Arab, seorang penulis lazimnya menuliskan lafaz “al-āyah” atau “al-ḥadīts” di akhir kutipan tersebut. Terkait cara membaca lafaz ini, saya teringat ketika seorang kawan membacanya di hadapan KH Baha`uddin Nursalim (Gus Baha).
Saat itu, kami sedang berada di kelas mata kuliah Tafsir yang diampu oleh beliau. Model pembelajaran dalam kelas beliau adalah beberapa mahasiswa diminta untuk membaca kitab Al-Qawā’id al-Asāsiyyah fī ‘Ulūm al-Qur`ān karya Abuya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Ḥasani.
Gus Baha menyimak bacaan para mahasiswa tersebut, kemudian menyampaikan penjelasan terkait teks yang dibaca. Pada saat itu, bab yang dibaca membahas perbedaan pendapat tentang ayat Al-Qur`an yang pertama kali turun.
Dalam pembahasan tersebut, Sayyid Muhammad mengutip hadis riwayat ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā tentang kali pertama Rasulullah Ṣallā Allāh ‘Alayhi wa Sallam menerima wahyu. Di akhir kutipan, beliau menulis,
وفي بعض الروايات حتى بلغ (ما لم يعلم) .. الحديث بطوله
Biasanya, lafaz yang terdapat pada setelah kutipan hanya “al-āyah” atau “al-ḥadīts” saja sehingga para santri pun terbiasa membacanya tanpa memberikan makna gandul. Namun karena dalam teks kitab Sayyid Muhammad terdapat tambahan lafaz “bi ṭūlihī” di belakangnya, mau tidak mau kawan saya harus membacanya berikut makna gandulnya. Ia pun membaca,
“Hadza, utawi iki; al-ḥadītsu, iku hadis; bi ṭūlihī, kelawan dawane hadis,”