Bagi masyarakat Bantul, khususnya daerah Wonokromo dan sekitarnya, tentu sudah akrab dengan KH Muhammad Abdul Muhith, atau lebih dikenal dengan sapaan Mbah Uhith.
Mbah Uhith Ya adalah ulama ahli fikih sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al-Fitroh, Jejeran, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Mbah Uhith lahir di Dusun Jejeran pada tahun 1936. Ayahnya bernama KH Nawawi, yang merupakan seorang ulama berpangaruh di wilayah Yogyakarta. Ayah Mbah Uhith ini juga pernah menjadi sekertaris pribadi Syekh Ihsan Jampes (Pengarang Kitab Sirajut Thalibin).
Semasa kecil, Mbah Uhith banyak belajar ilmu agama dengan ayahnya dan beberapa ulama di sekitar Wonokromo. Mbah Uhith juga pernah nyantri di pesantren Watucongol Magelang yang diasuh Mbah Kiai Dalhar Watucongol (seorang waliyullah).
Selain belajar dengan ulama terkemuka, ternyata Mbah Uhith punya kebiasaan otodidak, lebih suka belajar sendiri. Hampir semua kitab yang ada di perpustakaan pribadi telah dibacanya.
Mbah Uhith biasa melakukan muthola’ah (membaca kitab sendiri) dengan begitu tekun, dan ini merupakan keunggulan pribadinya. Bahkan, kebiasaan muthola’ah ini sulit ditandingi oleh orang lain sekalipun oleh putra-putrinha.
Hasil bacaan Mbah Uhith itu biasanya disampaikan pada saat kajian kitab kuning, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Dapat dikatakan bahwa Mbah Uhith ini seorang pembaca kitab kuning sepanjang hayat.
Selain rajin membaca kitab, Mbah Uhith juha produktif menulis kitab. Salah satu dari karya tulisnya yang berkenal berjudul Hiyadl ar-Rabihin fi Ma’rifati Ma’aniy Riyadl ash-Shalihin ( Hisapan menguntungkan dalam mengetahui aneka makna dalam kitab Riyad Ash-Shalihin).
Kitab ini merupakan terjemahan deskriptif dari kitab Riyadl ash-Shalihin karya al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (631-676 H). Adapun, jenis penulisan kitab ini menggunakan aksara Arab pegon berbahasa Jawa.
Alasanya, Mbah Uhith merasa jika selama ini kitab-kitab kuning hanya mampu dipahami oleh kalangan santri, sementara orang awam yang ikut ngaji dengannya tidak paham. Maka Mbah Uhith berinisiatif untuk menulis kitab dalam aksara Arab pegon ( berbahasa Jawa) agar mudah dipahami oleh semua kalangan.
Karya tulis Mbah Uhith ini diterbitkan secara pribadi di Pondok Pesantren Al-Fitroh dan tidak diperjualbelikan di toko buku, alias hanya untuk internal pesantren saja.
Karya tulis Mbah Uhith dapat dijumpai di perpustakaan Pesantren Al-Fitroh. Kitab tersebut terbit pertama kali pada tahun 1982 dalam 42 bagian yang disatukan menjadi 4 jilid tebal seperti kitab aslinya.
Dalam hal tasawuf, Mbah Uhith menganut Imam Ghazali dan dalam tarekat ikut aliran Naqsabandiyah.
Tidak diragukan lagi kepakaran Mbah Uhith dalam bidang agama, kareba menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari tafsir, hadis, fikih, nahu-saraf, dan tasawuf.
Namun, di antara disiplin keilmuan yang dikuasainya, yang paling menonjol di bidang fikih (hukum Islam). Karena itu, Mbah Uhith selalu dijadiakn rujukan para kiai di wilayah Wonokromo dan luar Yogyakarta saat mereka menemui kesulitan dalam memecahkan masalah fikih. Kepakarannya dalam bidang fikih sudah dikenal luas, maka tidak heran bila Mbah Uhith menjadi ulama rujukan.
Mbah Uhith bukan saja ahli fikih, namun juga seorang ahli hadis. Mbah Uhith pernah mendirikan Majelis Bukhoren, yaitu majelis yang mengkaji kitab Shahih Bukhari setiap bulan Maulud.
Majelis Bukhoren ini berdiri pada tahun 1968 yang dinakhodai oleh Mbah Uhith dengan dibantu sahabatnya, yaitu KH Busyro Wonokromo, KH Ali Ma’sum Tegal, dan KH Muhyiddin Jejeran. Majelis Bukhoren ini masih dilakukan sampai sekarang meski Mbah Uhith sudah wafat.
Selain mendirikan Majelis Bukhoren, Mbah Uhith juga menggerakkan Majelis Dalail al-Khaerat dan menjadi mujiz (jika di dunia sufi disebut mursyid).
Majelis ini didirikan pada 1970 dan jemaatnya dari Jejeran dan sekitarnya. Majelis ini dilakukan setiap tanggal 12 bulan Hijriyah namun lokasinya berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah anggota majelis lainnya. Orang sekitar mengenal majelis ini dengan istilah “malem rolasan”. Majelis ini masih eksis sampai sekarang dan diteruskan putra Mbah Uhith.
Mbah Uhith bukan orang yang silau pada jabatan. Pernah mendapat tawaran menjadi Mukhtasyar NU Bantul, dan berkali-kali para pengurus meminta kesediaan Mbah Uhith menjadi ketua, namun lagi-lagi dengan halus Mbah Uhith menolaknya.
Pernah sekali jadi pengurus Mukhtasyar NU, namun juga tidak aktif. Mbah Uhith juga pernah diamanahi untuk menjadi pengurus Masjid Jejeran, namun juga tidak pernah aktif.
Mbah Uhith menolak berbagai tawaran tersebut bukan tanpa sebab. Rupanya, Mbah Uhith lebih suka berdakwah dan menjadi kiai yang biasa saja, dengan begitu hati dan pikirannya bisa tenang.
Mbah Uhid wafat pada tahun 2004 di usia 67 tahun karena menderita sakit flek pada paru-parunya. Sebelum wafat, Mbah Uhith memiliki keinginan yang mulia, yaitu ingin membawa seluruh keluarganya untuk melaksanakan haji bersama. Namun sebelum itu terwujud, Mbah Uhith sudah lebih dulu kembali pada Sang Pencipta. Mabh Uhith berpesan pada putranya agar meneruskan pesantren dan merawat majelis yang sudah dibangunnya selama ini.