Setiap kali teringat Asrul Sani, saya selalu ingin menjadi orang lain lagi —menjadi manusia baru, misalnya. Atau menekuni bidang baru. Seakan, sebagai manusia, saya memang sudah nyata diciptakan, tapi takdirnya belum ditentukan. Ia tak menguak takdir, tapi mengusik. Bahkan pada takdirnya sendiri.
Sesungguhnya, Asrul Sani lebih sebagai seorang penggerak. Penggerak budaya. Penggerak melalui karya, dan gerakannya akan memengaruhi lebih banyak orang untuk bergerak melalui lebih banyak lagi, dan makin beragam, karya. Sesungguhnya, karya-karyanya, sejauh yang dapat kita periksa, tak sebanyak karya-karya kreator lainnya. Tapi, pengaruhnya melampaui banyak kreator lainnya.

Di bidang penulisan kreatif, misalnya, ia kalah produktif dibandingkan banyak penyair sezaman atau setelahnya. Ia cuma punya dua buku puisi. Yang pertama, Tiga Mengguak Takdir (1950) yang diterbitkan bersama kumpulan puisi Chairil Anwar dan Rivai Apin, cuma ada 9 puisi. Yang kedua, Mantra (1975), cuma terdiri dari beberapa puisi. Ia juga cuma punya satu buku kumpulan cerpen, Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat dan satu kumpulan esai, Surat-Surat Kepercayaan (1997). Tapi, sejarah mencatat, pengaruhnya luar biasa dalam perkembangan sastra di Tanah Air. Pengaruh serupa juga dirasakan di dunia teater dan film, meskipun karyanya juga tak terbilang banyak.
Pendeknya, di mana pun Asrul Sani berkarya, apa yang dilakukannya memiliki pengaruh yang kuat. Mungkin, satu-satunya jejak yang pengaruhnya tidak begitu terasa justru kiprahnya di bidang politik. Kita tahu, pada periode 1960-an hingga 1970-an Asrul Sani pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tiga periode. Awalnya, ia menjadi anggota DPR dari Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan kemudian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebab, di masa-masa itulah, politik otoritarianisme Soeharto mulai menguat.

